Langit merah saga menyambut kedatangan kami di lembah danau kristal Maninjau. Karena tidak membuat reservasi dengan satu penginapan pun, kaki melangkah ringan mencari-cari tempat bermalam paling sesuai selera. Makin dekat ke tepian danau, makin romantis suasananya. Selain suara tonggeret dan jangkrik, angin bertiup membawa kecipak air sampai ke tepian, juga membuat dedaunan pohon-pohon kelapa berkelebat.
Suasana keseharian yang tidak berpacu kencang, kami rasakan di Bayur, sekitar 2 km dari pertigaan Jalan Haji Udin Rahmani. Titik yang bisa disebut sebagai awal distrik Maninjau, usai perjalanan melintasi ruas legendaris “Kelok 44” rute yang dilewati bus dan kendaraan pribadi untuk mencapai kawasan wisata ini.
Danau Maninjau terbentuk dari kaldera gunung berapi, hasil ledakan vulkanik yang terjadi lebih dari 52 ribu tahun lalu. Keberadaan air tawarnya dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air kawasan Sumatra Barat, serta budidaya ikan air tawar, dengan masa panen 3-4 per tahun.
Rumah-rumah otentik dari kayu bubungan atap diukir rapi dan sangat detail masih banyak dijumpai di Maninjau serta Bayur.
Menurut Pak Kari, pemangkas rambut di Pasar Maninjau, saat ini masih kecil. Sekitar 1960-an, Maninjau dikenal sebagai tempat tertirah orang-orang Belanda di Padang, juga kaum berada bangsa Indonesia. “Mereka membangun rumah-rumah kayu, menyesuaikan bangunan masyarakat setempat,” tukasnya. “Karena kayunya berkualitas bagus, bangunan-bangunan tua itu kebanyakan bisa bertahan hingga kini. Beda dengan generasi sekarang, mereka membangun rumah dari bata dan kayu.”
Lewat tengah hari, anak-anak pulang sekolah sembari menyantap pensi. Semacam kerang air tawar ukuran kecil, yang direbus dan dibumbui. Cara menyantapnya mirip kacang kulit, diwadahi kantong plastik. Hidangan lain khas Maninjau adalah palai rinuak; ikan kecil semacam teri dibumbui aneka rempah dan kelapa parut, lalu dibungkus daun pisang dan dipanggang. Kedua biota tadi merupakan endemik Danau Maninjau.
Penulis | : | |
Editor | : | Puri |
KOMENTAR