Saya iri.
Saya cemburu.
Tidak.
Tidak, tidak. Saya tidak marah.
Tidak. Saya tidak menangis.
Saya bahagia.
Saya bangga.
Saya akan mengatakan kepada siapa saja (terutama audiens setia kami yang sudah bersusah payah menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk ikut menyebarkan misi National Geographic Society) bahwa saya menjadi bagian dari tim penjelajahan "200 Tahun Gelegar Tambora"—meski saya tidak ikut pergi memuncaki gunung itu.
Ketika Editor Teks Firman Firdaus dan Kartografer Sony Warsono dengan gagahnya memegang bendera National Geographic Society, saya pun iri. Saya belum pernah berdiri di titik tertinggi sebuah gunung dengan bendera yang begitu menginspirasi itu. Apalagi, bisa berdiri dan memegang bendera NatGeo Society di tiang langit Sumbawa.
Terus terang, saya sebetulnya saya ingin sekali kembali ke rumah alami yang begitu bersejarah bagi kita itu. Sejarah itu ternyata bukan hanya milik kita—yang tinggal di wilayah kepulauan yang tersebar di khatulistiwa. Mereka yang tinggal di belahan bumi sebelah utara ikut merasakan dampaknya. (Baca juga Menerawang Dua Abad Pecahnya Sang Ancala).
!break!Pada 1997, saya bersama dua kawan kuliah di Bogor, Jawa Barat, melakukan sebuah perjalanan. Ceritanya sih kami ingin menjelajahi tiga gunung api sekaligus di kawasan Sunda Kecil: Tambora (di Sumbawa), Rinjani (di Lombok), Agung (di Bali). Tujuan pertama, tentu, Tambora.
Ketika itu, bekal kami hanya cukup untuk melakukan perjalanan darat dari Jakarta menuju Dompu, kota terdekat sebelum pendakian. Begitu bus AKAP (antarkota antarprovinsi) menurunkan kami di tepi jalan menuju Desa Pancasila, kami segera memanggul ransel ke bus sedang.
Persiapan pendakian kami siapkan dari Desa Pancasila. Saya mendapatkan banyak cerita dari sana. Soal legenda Tambora yang mengamuk (Baca lebih lengkap via Gegara Adu Mulut Soal Anjing, Gunung Tambora Gemparkan Dunia) Saat Editor Teks Mahandis Yoanata T selesai menuliskan kisah itu, saya pun teringat apa yang diceritakan oleh pemandu gunung.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR