Saya dalam kunjungan menghadiri Festival Nagari di Kabupaten Dahrmasraya, Sumatera Barat di awal Desember 2015. Sebuah festival yang mengangkat tema nagari berbasis teknologi internet. Hujan mendera berhari-hari, membuat acara yang sudah didisain sedemikian rupa harus mengalami kehilangan berbagai momen berharga.
Tapi sebagai penjelajah, saya tak mau menunggu dan terkungkung oleh hujan. Sebuah candi zaman hindu mengundang minat saya untuk berkunjung, candi Padang Roco.
Mahendra Taher, sahabat saya yang sekaligus Direktur Pundi Sumatera mengajak blusukan ke wilayah itu. Menurutnya, Candi Padang Roco merupakan sebuah candi peninggalan hindu tua di Sumatera Barat.
“Sudah disepakati kerajaan Siguntur di Dharmasraya adalah kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya yang berbasis di Sumatera Selatan. Setelah masa Sriwijaya, pusat kerajaan Melayu pindah ke Dharmasraya melalui Sungai Batanghari. Itu catatan sejarah yang berlangsung antara tahun 1286-1347,” paparnya.
Dari ibukota Dahrmasraya, Koto Baru, komplek candi Padang Roco dapat ditempuh dengan kendaraan menuju Nagari Siguntur sekitar 30 hingga 45 menit, lalu dilanjutkan dengan menaiki perahu menyisir Batanghari selama 45 menit ke arah hilir.
Taher sudah siap dengan kendaraan SUV yang biasa dia bawa ke lapangan. “Jalannya tidak harus off road, jadi mobil ini cukup aman dibawa,” katanya di belakang kemudi.
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Taher harus berhenti sejenak, menepikan kendaraan lalu bicara dalam bahasa lokal yang pasih. Samar-samar saya mendengar kata oke, tunggu di rumah gadang. Seseorang menunggu di satu tempat.
Kami melanjutkan perjalanan, berbelok di jalan aspal yang tidak terlalu mulus. Sesekali Taher meliuk karena harus menghindari lubang.
“Sesungguhnya, jejak kerajaan ini masih bisa ditelusuri melalui tiga candi. Selain Padang Roco, ada juga candi Pulau Sawah dan Bukik Awang Maombiak. Tapi kita tak mungkin mengunjungi ketiganya, waktu kita sempit,” kata Taher sambil menyetir.
Dia berbelok masuk kedalam pekarangan. Tampaknya, itu adalah rumah tua dari kayu yang sengaja dilestarikan karena beberapa bagunan di sekelilingnya merupakan bangunan baru yang terbuat dari semen dan bata.
Atap bagonjong khas Minangkabau membuat bangunan itu bertambah unik. Sebuah tangga yang juga dari kayu membujur ke arah pintu masuk.
Taher mengajak saya menaiki undakan tangga. Di rumah itu, sebuah obrolan sedang berlangsung ketika Taher menghentikannya dengan salam. Ada sekitar sebelas hingga lima belas orang yang sedang duduk bersila.
Seorang berbaju merah memakai celana dari bahan jins diperkenalkan Taher kepada saya. Taher tampak akrab dengan sosok itu. “Hendri,” ucapnya ringan. Orang inilah yang sebelumnya menelepon Teher.
Sulthan Hendri bergelar Tanku Bagindo Ratu, adalah raja keenam kerajaan Siguntur pada masa Islam sejak tahun 1575. Saya terhenyak mengetahui fakta itu.
Sultan Hendri menceritakan, pada 1575, kerajaan Siguntur sudah menganut Islam dengan raja pertamanya Abdul Jalil Sutan Syah. Sulthan Abdul Qadir menggantikan beliau pada 1650. Selanjutnya berturut-turut Sulthan Amiruddin (1727-1864) dan Sulthan Ali Akbar (1864-1914).
“Kini, orang mengenal kerajaan Siguntur dengan sebutan Kerajaan Dharmasraya. Kakek saya, Sulthan Abu Bakar, bertahta pada 1914 hingga 1968,” imbuhnya.
Sulthan Hendri sendiri diangkat menjadi raja pada usianya yang kedelapan pada 1968. Seorang anak yang masih sangat belia kala itu.
Menurutnya, pelajaran-pelajaran penting tentang tata pemerintahan dan kerajaan Sigutur banyak dia pelajari dari keluarga ibu dan ayahnya. Sejak kecil, dia digembleng menjadi seorang raja yang akan mengayomi segenap keluarga kerajaan berikut dengan situs-situs peninggalan sejarahnya.
Sulthan Hendri beringsut dari tempat duduk untuk membimbing ibunya turun dari rumah gadang. Si Ibu, adalah seorang guru yang sudah pensiun beberapa tahun silam. “Dalam keluarga kerajaan, beliau dipanggil Acik, panggilan bagi kaum ibu keturunan kerajaan,” kata Sultahan Hendri.
Ditemani beberapa orang, akhirnya saya, Taher dan Sulthan Hendri turun ke tepian sungai Batanghari. Perjalanan kami lanjutkan menuju candi Padang Roco.
Sebuah perahu kayu yang sudah dilengkapi dengan motor telah menunggu di pinggir sungai. Kami menaikinya dengan hati-hati.
Sulthan Hendri mengenakan topi bercaping lebar untuk melindunginya dari sengatan matahari. Sambil berkelakar dia merasa aneh dengan cuaca hari itu, sebab sudah hampir empat hari selalu turun hujan. “Mungkin karena perjalanan ini,” celetuknya.
Hampir satu jam kami menyusur ke hilir Batanghari. Sisi kiri kanan sungai sudah banyak yang longsor akibat air yang digelontorkan hujan beberapa hari sebelumnya. Beberapa kelompok penambang pasir terlihat melambai lalu melanjutkan pekerjaannya.
Perjalanan harus kami lanjutkan sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Sisi sungai yang becek membuat sepatu yang kami gunakan penuh dengan lumpur.
Kami sampai di komplek candi Padang Roco ketika matahari sudah hampir sepenggalan. Sinarnya yang terik tembus dari atap yang sengaja dibuat oleh pemerintah setempat untuk melindungi situs itu.
Saya terpana di salah satu puing candi. Berbeda dengan candi seperti dalam banyangan saya sebelumnya. Mulanya, saya berpikir komplek candi ini adalah komplek candi seperti candi-candi di Jawa yang terbuat dari batu. Tapi, candi Padang Roco terbuat dari bata merah. Ukuran batanya cenderung lebih besar dari bata yang saya kenal selama ini.
Berbeda dengan candi di Jawa, lanjut Sulthan Hendri, Batanghari tidak menyediakan batu-batu besar yang dapat disusun menjadi candi. Kondisi ini juga sama dengan candi-candi lainnya yang berada dekat sungai di Sumatera.
Komplek candi Padang Roco, lanjut Sulthan Hendri, didirikan pada masa raja pertama kerajaan Siguntur antara tahun 1250 hingga 1280 di masa pemerintahan Sri Tri Buana Mauliwaradewa. Masa itu, kerajaan masih berbasis agama Hindu.
“Ekpedisi Pamalayu tahun antara tahun 1290 hingga 1294 oleh kerajaan Singosasri telah menghubungkan kerajaan Sigutur dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Masa itu, kerajaan Siguntur dipimpin oleh Lembu Sora yang bertahta antara tahun 1290 hingga 1300,” jelasnya.
Tim ekspedisi Pamalayu memberikan tanda persahabatan berbentuk patung. Belakangan, patung itu diketahui adalah patung Bhairawa dan Amoghapasa yang kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
Kerajaan Siguntur menyambut tanda persahabatan itu dengan mengirimkan Dara Jingga dan dara Petak. Dari catatan sejarah, Dara Petak kemudian dipersunting oleh Raden Wijaya, raja pertama Majapahit setelah Singosari.
Saya mengitari candi itu dengan miris. Candi utama yang kini hanya tinggal undakan bata merah kelihatan merana. Dua struktur tambahan bersisian dengan candi utama.
“Patung Amoghapasa ditemukan disini. Sementara Bhairawa ditemukan tahun 1935 oleh Belanda dan dibawa ke Bukittinggi sebelum kemudian dipindahkan ke Museum Nasional,” papar Sulthan Hendri.
Kami, lanjutnya, masih menyimpan benda-benda peninggalan lain seperti dua perangko kerajaan, kertas segel, stempel dan lainnya. Dengan segel dan stempel kerajaan, keluarga kami mestinya bisa masuk ke Malaysia tanpa harus menggunakan paspor.
Penggalian yang dilakukan di candi Pulau Sawah juga menemukan benda-benda kerajaan lainnya termasuk pedang, tombak, kendi, keris berlapis emas dan dihiasi berlian serta patung kaki berukuran kecil yang terbuat dari emas murni.
“Semuanya masih tersimpan dengan baik,” imbuhnya.
Sudah hampir dua jam kami mengitari komplek candi Padang Roco. Tak terasa matahari sudah mulai condong ke barat. Azan dzuhur sudah terdengar di kejauhan. Tapi Sulthan Hendri masih bernostalgia dengan situs itu.
“Dulu, waktu mash kecil, saya jarang mengunjungi komplek ini. Sebelum diambil alih oleh pemerintah, batu bata yang berserakan di sekitar komplek banyak yang diambil warga untuk berbagai keperluan. Banyak yang menggunakannya untuk membangun rumah, bahkan mushalla. Tapi sekarang sudah tidak diizinkan lagi, pemerintah berencana merenovasi. Entah kapan,” keluhnya.
Tiba-tiba awan gelap datang. Matahari yang tadinya bersinar terang terhalang awan kelabu. Rinai tak lama mulai turun. Kami harus segera kembali jika tak mau dihadang banjir dalam perjalanan.
“Sebetulnya, Candi Pulau Sawah tak jauh dari sini, hanya 7 kilometer di seberang sungai. Tapi tak ada waku lagi, kita harus bergegas kembali,” ajaknya.
Taher menjelaskan, kerajaan yang dipimpin Sulthan Hendri sedianya adalah kerajaan hindu sejak didirikan oleh Sri Tri Buana Mauliwaradewa. Berturut-turut setelah itu, kerajaan dipimpin oleh Lembu Sora, Paramesywara pada 1300 hingga 1343, Adityawarman atau Kanakamedinindra pada 1343 hingga 1347, Adikerma kemudian bertahta hingga 1397. Lalu digantikan oleh Guci Rajo Angek Garang pada 1397 hingga 1425.
“Tiang Panjang merupakan raja hindu tarakhir di Siguntur, berkuasa hingga 1560. Pada periode inilah terjadi peralihan dari Hindu ke Islam,” imbuh Taher.
Sebagai warga Dharmasraya, Taher dan Sulthan Hendri merasa miris dengan kondisi kampung halamannya. Mereka berdua sedang memimpikan sebuah rencana penelusuran sejarah Dharmasraya melalui kerajaan Siguntur. Saya menjadi bagian dari pembicaraan panjang mereka dalam perjalanan pulang.
Penulis | : | |
Editor | : | Prana Prayudha |
KOMENTAR