Batu-batu berwarna merah, hijau, biru dan aneka warna lainnya menyilaukan mata di pasar Rawa Bening, Jakarta Timur.
Batu-batu akik tersebut berasal dari berbagai daerah Indonesia dan dijual dengan beragam harga mulai dari sepuluh ribu rupiah, hingga puluhan juta rupiah.
Umumnya masyarakat menjadikannya aksesoris perhiasan seperti cincin dan kalung.
Pesona batu akik memang seperti menyihir berbagai kalangan.
Salah satunya adalah Zainal yang baru menyukai batu akik beberapa bulan terakhir karena mengikuti tren saat ini.
Zainal mengunjungi Pasar Rawa Bening pertengahan Februari 2015 untuk menambah koleksi batu akiknya yang sudah ada tiga buah.
"Saya sih kurang-kurang ngerti mengenai batu akik yang penting bentuknya (saya) senang. Paling saya belinya yang murah-murah saja, kisaran 300-an ke bawah," kata Zainal.
Lain halnya dengan Arifin Azhari yang mengaku sudah lama mengoleksi batu akik. Arifin sore itu sedang membeli batu Bacan yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai batu akik paling diburu di Indonesia saat ini.
"Bacan mungkin empat, lima tahun yang lalu batu yang tidak dianggap oleh komunitas penggemar batu mulia di sini. Orang dulu lebih cenderung ke produk-produk impor seperti Blue Saphir. Nah, kita (di Indonesia) sekarang ini tumbuh, Bacan, terus kemudian Giok Aceh, Batu Garut, Kalimaya dan sebagainya," jelas Arifin.
Hal ini dibenarkan oleh Dado, seorang penjual batu akik. Dado sudah dua tahun terakhir berjualan batu akik di pasar Rawa Bening, Jakarta Timur karena banyaknya peminat batu tersebut.
"Tadinya saya bisnis aksesoris. Cuman semenjak permintaan batu akik meningkat, saya beralih ke batu akik," ucap Dado.
!break!Potensi longsor
Namun, meningkatnya permintaan akan batu akik, menimbulkan sebuah masalah, yakni masalah lingkungan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR