Lima tahun lagi, yakni 2020, akan digelar Olimpiade di Tokyo, tetapi Pemerintah Jepang sudah mulai memasang target bahwa pada tahun itu jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke ”Negeri Sakura” sedikitnya 20 juta orang dari saat ini sekitar 10 juta orang. Berbagai upaya terus dilakukan, tetapi kesan sebagai negara berbiaya hidup mahal masih terus menghantui.
Selama pertengahan Desember 2014 hingga awal Januari 2015, Kompas sempat bertemu dengan beberapa warga asing (bukan Jepang) dan bercerita tentang Jepang. Pernyataan yang sering terucapkan adalah biaya hidup mahal. Katanya, biaya hotel, transportasi, makanan, dan barang kebutuhan lainnya selalu mahal.
Namun, saat ditanyakan sudah berapa kali ke Jepang, sebagian di antara mereka mengaku belum pernah dan ada pula yang baru sekali mengunjungi ”Negeri Matahari Terbit” tersebut. Informasi tentang biaya hidup mahal di Jepang itu diperoleh dari cerita teman-teman mereka.
”Saya sebetulnya ingin sekali ke Jepang. Namun, informasi dari teman-teman saya, katanya, biaya hidup di Jepang mahal sehingga saya mengurungkan niat itu untuk saat ini. Mungkin suatu saat nanti baru saya ke Jepang,” kata Reynald (35), karyawan salah satu perusahaan multinasional di Jakarta.
Kondisi ini menggambarkan kesan tentang biaya hidup mahal di Jepang sudah begitu kuat melekat. Bahkan, kesan serupa mungkin berkembang pula ke negara-negara di Eropa, Amerika, Australia, dan Afrika. Kesan tersebut pula yang diduga membuat banyak orang asing selalu tidak menjadikan Jepang sebagai tujuan utama berwisata.
Namun, persepsi ini langsung dibantah Bruno Dercon, warga Belgia yang kini bekerja dan tinggal di Fukuoka, Pulau Kyushu, Jepang. Biaya hidup mahal di Jepang, menurut dia, memang pernah terjadi tahun 1980-an. Saat itu nilai 1 dollar AS setara dengan 76 yen Jepang.
!break!Perbedaan nilai tukar kedua mata uang yang begitu tipis berefek pada harga semua jenis barang di Jepang menjadi mahal. Masyarakat asing yang berkunjung ke Jepang pun merasakan hal itu sehingga Jepang tidak menjadi negara tujuan utama berwisata. Kondisi itu berlangsung cukup lama. Mereka yang berwisata ke Jepang hanya yang punya modal besar. Akibatnya, timbul stigma bahwa Jepang sebagai negara berbiaya hidup mahal.
Sudah berubah
Namun, selama 15 tahun terakhir kondisi di Jepang sudah berubah. Deflasi telah membuat harga semua barang menjadi lebih murah. Apalagi, 1 dollar AS setara dengan 115-120 yen. Sebaliknya posisi nilai tukar dollar Singapura malah lebih menguat terhadap dollar AS. Satu dollar AS setara dengan 95-97 dollar Singapura.
Itu sebabnya, saat ini biaya hidup di Jepang jauh lebih murah dibandingkan di Singapura, Eropa, dan Hongkong. Itu didukung lagi dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Jepang yang hanya 8 persen, sedangkan di Belgia mencapai 21 persen.
”Jujur, hidup dan berwisata di Jepang saat ini sebetulnya paling menarik. Kita menikmati makanan berkualitas tinggi dan bisa bepergian ke mana saja dengan harga yang murah. Biaya yang Anda habiskan selama di Jepang hanya seperempat kali dari biaya yang dikeluarkan saat berkunjung ke Eropa Barat,” kata Bruno.
Kendati demikian, stigma sebagai negara mahal telah membuat Jepang seolah tidak berdaya dalam menjaring wisatawan asing. Segala keunggulan yang dimiliki nyaris tidak menjadi daya tarik bagi masyarakat dunia. Malah warga Jepang yang lebih banyak keluar dari negaranya. Berdasarkan data dari Japan National Tourism Organization (JNTO), pada 2013, misalnya, warga Jepang yang pergi ke Tiongkok mencapai 2,8 juta orang. Sebaliknya, orang Tiongkok yang berkunjung ke Jepang hanya sekitar 1,3 juta orang.
!break!
Ada yang murah
Menurut Direktur Eksekutif JNTO Jakarta Katsuhisa Ishizaki, stigma itu terlalu berlebihan. Alasannya, selama ini banyak juga hotel dan barang murah di Jepang dengan kualitas yang baik. Misalnya, Asakusa Hotel Wasou yang letaknya hanya 15 menit berjalan kaki dari Stasiun Asakusa dan Tokyo Skytree serta Kuil Senso-ji tarifnya Rp 248.000-Rp 495.000 per malam.
Ada pula hotel khusus backpacker yang menyediakan kamar seharga Rp 406.000 per malam. Hotel-hotel ini sekalipun murah, tetapi bersih dan dilengkapi televisi kabel dan Wi-Fi gratis. ”Itu tidak hanya ada di Tokyo, tetapi tersebar di sebagian besar kota di Jepang,” kata Ishizaki.
Demikian pula untuk barang murah tetapi berkualitas juga banyak dijual di Jepang. Misalnya, di pusat perbelanjaan Solomachi yang terintegrasi dengan Tokyo Skytree. Lalu di Backstreet Asakusa, di mana di sepanjang jalan utama menuju Kuil Sensoji dipenuhi toko suvenir yang tersebar hingga ke pelosok gang. Di sini, dijual suvenir dengan harga terjangkau.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR