Selepas peperangan, setelah dibebaskan dari tawanan Inggris, ia berkeliling Eropa dan bertemu para tokoh pergerakan dunia. Ernest merasa terilhami dan bertekad untuk melakukan hal yang sama saat kembali ke Hindia-Belanda. "Ia bergabung dengan koran Batavische Niuwesblad, menulis banyak artikel disana," tulisnya.
Pemilihan diksi yang tajam dan menggugah tentang nasib para buruh di perkebunan dan kritiknya terhadap kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, melejitkan karirnya di dunia pers. Tak tanggung-tanggung, dalam beberapa waktu, Ernest diangkat sebagai redaktur Batavische Niuwesblad.
"Selama menjadi redaktur, ia tak pernah berhenti memantik semangat anti-kolonialisme dalam setiap tulisannya," tulis Clemens Dimas. Tulisannya berjudul Hoe kan Holland he Spoedigst Kolonial vierlizen (Bagaimana paling cepat Belanda kehilangan tanah jajahannya), terbit hingga ke Belanda pada 1908.
Tulisannya menukik tajam pada kebijakan politik etis yang diterapkan Belanda. "Itu bisa saja mendapat perlawanan dari pribumi, seperti rakyat Amerika Serikat menentang Inggris," imbuhnya.
Ernest agaknya terpengaruh dengan tulisan-tulisan Benjamin Franklin, tokoh jurnalis yang menggerakan semangat Revolusi Amerika. Tulisannya menggugah para mahasiswa STOVIA untuk berdiskusi tentang pemikirannya.
Kedekatannya dengan para pelajar STOVIA, menjadikan kediaman Ernest Douwes Dekker sebagai tempat berdiskusi, berdeliberasi, hingga taman membaca yang menumbuhkan gelora nasionalisme para pemuda pribumi.
"Rumahnya Ernest jadi bukti adanya upaya para pemuda untuk melahirkan pergerakan, buah dari pemikiran-pemikiran gila Ernest dalam menentang penjajahan," tambahnya. Diantara pelajar STOVIA adalah tokoh pergerakan seperti Cipto Mangunkusumo.
Baca Juga: Marie Thomas dan Anna Warouw, Si 'Kembar' Pelopor Dokter Perempuan di Indonesia
Lewat kedekatannya dengan para mahasiswa STOVIA, lahir juga jaringan pergerakan yang menghasilkan gagasan pendirian Budi Utomo, sebagai organisasi politik pertama di era Hindia-Belanda.
Pada waktu yang lain, Ernest terlibat konflik dengan pemilik Batavische Niuwesblad, Zaalberg. Watak kerasnya dalam membela pribumi menjadi latar belakang konfliknya dengan Zaalberg, sehingga dia memutuskan untuk keluar dari Batavische Niuwesblad dan mendirikan koran sendiri yang diberinama de Express, di Bandung.
Kedekatannya dengan Dokter Cipto Mangunkusumo, membuatnya menarik Cipto sebagai salah satu redaktur de Express. Secara bebas dan lepas, Ernest dan Cipto mengobarkan semangat nasionalisme melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan de Express.
"Kegeraman Pemerintah Belanda, membuatnya mengasingkan Ernest pada tahun 1913, akibat terlalu berpihak pada kaum bumiputera," tulis Dimas. Sedangkan Cipto, ia ditahan akibat mengkritik perayaan hari ulang tahun Negeri Belanda di Hindia-Belanda.
Sekembalinya dari pengasingan, Ernest bertekad mendirikan Indische Partij yang berbeda. Tak seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam yang bercorak budaya dan agama tertentu, Indische Partij dirancang untuk mencapai kemerdekaan nasional. Dari sini, ia dikenal sebagai tiga serangkai bersama dengan Cipto dan Suwardi Suryaningrat.
Melalui de Express, Indische Partij menjadi organisasi pergerakan yang besar, karena tujuan-tujuannnya yang terarah untuk melawan pemerintahan Belanda dan mencapai kemerdekaan.
Tindakan Ernest yang meresahkan pemerintah Hindia-Belanda, membuatnya ditahan dan Indische Partij dibubarkan. Namun, Ernest tak pernah patah arang, ia menyebar pemikiran anti-kolonialnya melalui dunia pendidikan, saat diminta menjadi pengajar di sebuah sekolah Elenbaas di Bandung.
Bersama dengan istrinya, Johanna, Ernest lantang untuk tidak selalu berpasrah dengan tindakan-tindakan Belanda yang merugikan. Doktrin itu ia sampaikan di Ksatrian Instituut melalui penyelenggaraan sekolah jurnalistik dan pengajarannya.
Beberapa kali dia diancam oleh Pemerintah Hindia-Belanda, hingga akhirnya ia di asingkan ke kamp interniran Jodensavanne di Suriname, karena sikapnya yang terus membangkang pemerintahan.
Saat Indonesia merdeka, akhirnya Ernest kembali ke kampung halamannya pada 2 Januari 1947. Ia bertemu dengan Soekarno, presiden pertama bangsa yang memberinya nama Danudirdja Setiabudi.
Ernest Douwes Dekker wafat 3 tahun setelah kedatangannya kembali ke Indonesia, tepatnya pada 28 Agustus 1950 di Bandung. Ia dikenang sebagai salah satu pahlawan nasional yang penyematannya diberikan langsung oleh Soekarno.
Baca Juga: Tiga Ajaran Penting dari Ki Hajar Dewantara untuk Pendidikan Indonesia
Source | : | library.usd.ac.id,Historia (journals.co.za) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR