Terlahir di Saigon dalam era Perang Vietnam tetapi diadopsi dan tumbuh di Australia, Sophie English kini ingin berdamai dengan masa lalunya. Ia masih berharap bisa bertemu dengan ibu kandungnya.
Dalam pengalaman sehari-harinya di Sydney, Sophie English sering kali mendapatkan pertanyaan dari orang. "Maaf, jangan tersinggung ya, dari mana sih asal Anda?" demikian acap kali orang bertanya kepadanya.
Ada yang mengira ia keturunan China, Maori, bahkan orang asli Amerika, Indian. Faktanya, Sophie English lahir di Saigon pada era perang dan dibawa oleh keluarga adopsinya ke Australia.
"Saya orang Australia. Jangan heran kalau saya suka selai Vegemite, pie daging, dan bisa mengumpat juga," tuturnya kepada ABC. "Saya merasa beruntung menjadi orang Australia. Saya tidak merasa sebagai orang lain selain orang Australia. Namun, masih ada bagian dalam diri saya sebagai orang Vietnam," kata Sophie.
Sophie kembali ke Vietnam untuk apa yang ia sebut "berdamai dengan masa lalunya". Ini bertepatan dengan peringatan 40 tahun berakhirnya Perang Vietnam.
Dia baru berusia 10 bulan ketika diterbangkan keluar dari Vietnam ke Australia pada tahun 1969.
"Saya telah kehilangan seluruh kebudayaan asli saya. Seluruh identitas, bahasa, makanan asli saya. Saya kini berusia 46 tahun, tentu saja Vietnam sudah berbeda saat itu dibanding sekarang," jelasnya.
Sebagaimana umumnya anak adopsi saat itu, Sophie tidak memiliki banyak informasi tentang ayah-ibu kandungnya, dan mengapa ia diadopsi. Saat itu, dokumen-dokumen pendukung proses adopsi banyak yang hilang atau justru tertukar.
Ia merasa saat kini menyusuri jalan-jalan di kota Ho Chi Minh, bisa saja ia setiap saat berpapasan dengan ibunya tanpa ia ketahui.
Sophie terus bergelut dengan harapan dan upaya melupakan. "Sudah sering kali saya bersedih," katanya.
Seperti diketahui, ratusan anak Vietnam diadopsi oleh keluarga Australia selama era perang.
Saat itu, argumentasinya adalah anak-anak adopsi ini akan memiliki kehidupan yang lebih baik di Australia dibandingkan di negara asal yang dilanda perang.
Itulah dilema yang masih menghantui Sophie English hingga hari ini. Apakah hidupnya akan lebih baik seandainya ia tetap bersama ayah-ibu kandungnya, meskipun itu berarti hidup dalam serba kekurangan?
"Seandainya tak ada perang, sekiranya saya tidak diadopsi, misalkan saya tetap tinggal bersama ibu kandungku...," tutur Sophie penuh tanya. "Mungkin saja saya ada di salah satu perahu, sedang mencari ikan, bekerja keras seperti mereka, tapi paling tidak saya berada di antara keluarga sendiri," katanya.
"Siapa tahu juga saya sudah punya cucu sekarang," tambahnya lagi.
Kondisi kehidupan di Vietnam saat ini memang tak sebanding dengan kehidupan kelas menengah yang dijalaninya di Sydney.
Namun, Sophie merasakan ada yang berbeda di Vietnam, sikap pasrah dan tenang penduduknya, meskipun telah melewati brutalnya perang.
"Mereka begitu tenang dan sabar. Sesuatu yang kita sebagai orang Barat ingin rasakan melalui yoga, pilates, dan semacamnya. Mereka sudah lama memilikinya meski hidup serba kekurangan," katanya.
Sophie tidak banyak berharap bisa bertemu ibu kandungnya di Vietnam, dan karena tidak lagi tinggal bersama keluarga angkatnya, ia ingin terhubung kembali dengan tanah kelahiran.
Sekarang setelah 46 tahun tercabut dari tanah tercinta, Sophie ingin terus menemukan kembali identitas aslinya dan memulihkan trauma akibat terpisah dari ibu kandungnya.
Sementara itu, Sophie juga ingin agar para calon orangtua angkat bisa lebih memahami trauma anak-anak adopsi akibat tercabut dari identitas aslinya.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR