Masalah minimnya pasokan makanan di Afrika bukanlah barang baru. Kelaparan akibat kekeringan, dan konflik sering terjadi. Meski demikian, masih ada permasalahan lain yang terus mengancam ketahanan pangan benua hitam tersebut. Masalah ini kerap luput dari perhatian, yakni racun makanan yang dikenal juga sebagai aflatoksin.
Permasalahan ini cukup mengkhawatirkan. Pasalnya sebagian besar makanan pokok di Afrika berupa jagung dan kacang-kacangan.
Racun tersebut terbentuk secara alami. Para ilmuwan yang tergabung dalam Partnership for Aflatoxin Control in Africa (PACA) memperkirakan, sepertiga pasokan pangan Afrika terinfeksi aflatoxin. Pencapaian itu bahkan lebih tinggi dibanding Amerika Serikat.
Aflatoksin dapat memberi dampak buruk bagi penduduk Afrika, karena mereka menjadi begitu rentan terkena malaria dan tuberkolosis. Efek dari racun makanan ini pun beragam dan bertahap. Gejala terinfeksi racun ini mulai dari pendarahan, retensi cairan, sirosis, bahkan gagal jantung. Inilah yang menyebabkan ratusan kematian di seluruh dia tiap tahunnya.
“Ini cukup menakutkan, karena tidak ada bau ataupun rasa,” ujar direktur PACA, Barbara Simon.
Semakin maraknya racun makanan ini memaksa Pemerintah di seluruh dunia bekerja sama membatasi perkembangan aflatoksin.
Tidak hanya meningkatkan risiko kanker, aflatoksin juga mengganggu perkembangan anak. Penelitian menunjukkan adanya korelasi antara paparan aftatoksin dengan tumbuh kembang anak seperti berat badan yang rendah bahkan gangguan kognitif.
Racun ini banyak menginfeksi tanaman yang tumbuh di daerah tropis, seperti Afrika. Namun, negara seperti Guatemala, Haiti, India, dan negara di Asia selatan pun tengah berjuang menghentikan menyebarnya racun.
Lantas, bagaimana menghentikan pertumbuhan racun ini? Jawabannya terletak pada biokontrol. Yakni mekanisme untuk mengendalikan patogen dan hama sebagai musuh alami.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR