Jelas saya cemas. Suami saya dan saya telah berjanji kepada keluarga bahwa kami tidak akan melakukan apa pun yang berisiko selama perjalanan satu bulan di India. Tetapi sejatinya kami sering melakukan petualangan dan oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika kami melaju langsung ke perbatasan India- Pakistan.
India dan Pakistan mempunyai sejarah sama yang diwarnai konflik. Sebelum Inggris menarik diri dari anak benua India pada 1947, Inggris memecah kawasan Punjab dan menyebabkan kekerasan dan pertumpahan darah. Salah satu bentrokan terbaru menewaskan sembilan warga sipil.
Di balik hubungan tegang ini, setiap hari menjelang matahari terbenam kedua negara bertemu untuk menggelar upacara penuh dedikasi, semangat yang menandapi penutupan perbatasan setiap malam.
Setelah meninggalkan kota Agra yang berpolusi dan berkabut dan meninggalkan kemegahan Taj Mahal beberapa hari sebelumnya, kami menumpang kereta ke Amritsar, karena ingin sekali menyaksikan secara langsung bagaimana tentara mengangkat kaki tinggi-tinggi.
Dari Amritsar, sekitar 30 kilometer ke arah barat, kami tiba di kota Atari, di perbatasan Wagah, satu-satunya perlintasan resmi antara India dan Pakistan.
Ratusan warga India sudah berkumpul di sana. Pedagang asongan menembus kerumunan penonton untuk menjajakan CD bajakan lagu-lagu penyanyi Beyoncé, miniatur Taj Mahal dan jalebi, kue tradisional India berwarna orange mencolok yang dibalut dengan sirup.
!break!Di dekat pintu gerbang, terdapat ruang persembunyian bawah tanah yang terbuat dari semen dan tampak resmi. Di dekat tempat itu, penonton dibagi menjadi dua baris: baris pertama untuk laki-laki dan baris kedua untuk perempuan. Di negara tidak beraturan seperti India, barisan penonton itu ternyata sangat tertib.
Saya melambaikan tangan kepada suami dan masuk barisan panjang bersama perempuan-perempuan yang mengenakan kain sari bercorak cerah. Seorang penjaga perbatasan yang kelihatan serius menepuk pundak saya, menoleh ke arah suami dan menunjuk ke arah barisan terpisah bertuliskan “orang asing”.
Di barisan orang asing, penonton perempuan dan laki-laki boleh membaur. Setelah pemeriksaan paspor dan pemeriksaan keamanan yang berlangsung singkat, kami dipandu melewati jalan setapak menuju garis perbatasan resmi, tempat upacara digelar.
Jalan jalur tunggal sepanjang sekitar 100 meter membentang dari wilayah India, mengarah ke dua pintu gerbang besar terbuat dari besi, dan selanjutnya masuk ke wilayah Pakistan. Di kedua sisi jalan ada tribun penonton dan trotoar dan tampak ada tingkatan dalam pengaturan tempat duduk.
Tamu khusus dan tamu sangat penting ditempatkan di tribun paling dekat dengan pintu gerbang perbatasan, disusul oleh bangku terbuat dari semen yang khusus diperuntukkan bagi wisatawan asing.
Warga India, baik perempuan, laki-laki maupun anak-anak duduk di sepanjang trotoar dan di tribun besar di belakang kami. Dari tempat kami, persis di belakang pintu gerbang perbatasan dan kurang dari 50 meter, tribun yang berdiri di wilayah Pakistan tampak jelas.
Pengaturan tempat duduk di perbatasan Pakistan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Banyak perempuan bertepuk tangan mengiringi musik, melambai-lambaikan bendera Pakistan berwarna hijau dan putih dan tampak antusias mengobrol sesama penonton.
Ketika melirik ke kiri, ke arah penonton pria Pakistan, tak seorang pun tampak riang. Wajah mereka serius. Dengan mengenakan celana olahraga putih, pembawa acara petang itu meminta penonton meneriakkan kata-kata "Hindustan Zindabad!” (Hidup India!) dari perbatsan India.
Teriakkan itu disambut dengan kata "Pakistan!" dari balik pintu gerbang. Mereka bertepuk tangan, berdendang dan meluapkan keriangan diiringi dengan petikan lirik “Jai Ho”, dari film Slumdog Millionaire.
Sulit membayangkan bahwa pada saat itu kami sejatinya berada di titik perbatasan antara kedua negara yang hubungannya emosional dan diwarnai kekerasan. Upacara dibuka dengan meriah. Atau lebih tepat dengan teriakan.
!break!Penjaga perbatasan India tampil dengan mengenakan seragam berwarna dril resmi yang disemati berbagai medali berharga dan juga mengenakan topi merah menjulang ke langit. Seorang penjaga dengan raut wajah serius berjalan ke arah mikrofon, menarik nafas dalam-dalam dan lantas menghembuskan nafas sambil berteriak yang disahut oleh penjaga di wilayah Pakistan.
Mereka bersaing untuk mengeluarkan suara sekeras mungkin. Dua orang dari dua negara berbeda, hanya dipisahkan oleh jarak kurang dari 100 meter, berlomba berteriak dengan gaya lama.
Begitu penjaga perbatasan kami kehabisan nafas (penjaga perbatasan Pakistan berhasil berteriak beberapa detik lebih lama), dengan sigap ia berbaris di lajur menuju Pakistan diikuti oleh lima penjaga lainnya.
Mereka berdiri tegak di tengah jalan dan memulai serangkaian gerakan dengan menendang dan menghentakkan kaki secara singkron.
Ajaibnya, hiasan kepala berlebihan yang mereka kenakan dan ekspresi serius tidak pernah goyah. Dari waktu ke waktu, seorang penjaga menatap perbatasan Pakistan dengan ekspresi menakutkan, seolah-olah untuk mengintimidasi lawan-lawannya.
Pada tahap ini, patriotisme di kalangan penonton terasa; setiap kelompok penonton bersorak dan bertepuk tangan.
Penjaga perbatasan yang mengumandangkan seruan perang berjalan, menyelesaikan serangkaian gerakan menghentakkan kaku dan menendang tinggi-tinggi, bahkan hampir saja lututnya menyentuh hidung.
Begitu juga penjaga perbatasan Pakistan menunjukkan ketangkasannya membawakan jurus-jurus pencak silat. Aksi mereka berakhir pada saat yang sama, yang ditutup dengan saling memberikan tatapan dalam tempo lama.
Upacara akhirnya mencapai pamungkas yang hampir antiklimatik ketika bendera kedua negara menyaksikan jabat tangan cepat antara dua komandan penjaga perbatasan.
Dan dengan musik diturunkan tepat secara bersamaan. Seandainya saya berkedip, saya akan akan kehilangan momen mengantar terakhir, pintu gerbang ditutu dengan mantap.
Begitu penonton mulai membubarkan diri, suami dan saya tetap duduk, mencerna apa yang baru saja kami amati.
India dan Pakistan mungkin saja mengalami konflik panjang. Tetapi juga menyejukkan hati melihat fakta bahwa setiap malam sekalipun sebentar, kedua negara bersatu menutup pintu perbatasan.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR