Dua besaran yang disorot dalam Spektrum Sheldon adalah ukuran tubuh suatu organisme, yang diskalakan secara proporsional dengan kelimpahannya. Jadi, semakin besar suatu spesies, cenderung semakin sedikit individu dalam kelompok ukuran spesies tersebut.
Misalnya, udang rebon memiliki ukuran sekian kali lebih kecil dari ikan tuna. Namun di sisi lain jumlah udang rebon di laut juga sekian kali lebih banyak daripada ikan tuna.
Jadi secara hipotetis, jika semuaa biomassa tuna atau semua daging tuna di dunia digabungkan, jumlahnya kira-kira sama dengan total semua biomassa udang rebon di dunia.
Sejak pertama kali diusulkan pada tahun 1972, para ilmuwan hanya menguji pola penskalaan alami ini dalam kelompok spesies yang terbatas di lingkungan perairan dan pada skala yang relatif kecil. Dari plankton laut, hingga ikan di air tawar, pola ini berlaku. Biomassa spesies yang lebih besar kurang melimpah kira-kira setara dengan biomassa spesies yang lebih kecil namun lebih melimpah.
Baca Juga: Perubahan Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Sektor Perikanan Indonesia
Sekarang, ahli ekologi Max Planck Institute bernama Ian Hatton dan rekan-rekannya telah melihat apakah hukum kekuatan ini juga mencerminkan apa yang terjadi dalam skala global.
"Salah satu tantangan terbesar untuk membandingkan organisme yang mencakup bakteri hingga paus adalah perbedaan skala yang sangat besar," kata Hatton.
Dengan menggunakan data historis, tim mengkonfirmasi bahwa spektrum Sheldon cocok dengan hubungan ini secara global untuk kondisi samudera pra-industri atau sebelum tahun 1850. Di 12 kelompok kehidupan laut, termasuk bakteri, ganggang, zooplankton, ikan, dan mamalia di lebih dari 33.000 titik grid lautan global, jumlah biomassa yang kira-kira sama ditemukan di setiap kategori ukuran organisme tersebut.
"Fakta bahwa kehidupan laut terdistribusi secara merata di berbagai ukuran sangat luar biasa," kata Galbraith, geosaintis dari McGill University yang terlibat dalam studi ini.
"Kami tidak mengerti mengapa harus seperti ini - mengapa tidak ada lebih banyak hal kecil daripada hal-hal besar? Atau ukuran ideal yang terletak di tengah?"
Baca Juga: Melihat Ikan Mola-mola Seberat Dua Ton Tangkapan Nelayan di Ceuta
Para peneliti kemudian membandingkan temuan ini dengan analisis yang sama yang diterapkan pada sampel dan data saat ini. Sebagian besar hukum kekuatan ini masih berlaku, tapi ada gangguan mencolok pada polanya yang terlihat pada organisme-organisme yang lebih besar.
"Dampak manusia tampaknya telah secara signifikan memotong sepertiga bagian atas spektrum," tulis tim dalam laporan makalah mereka yang telah terbit di jurnal Science Advances pada November 2021.
"Manusia tidak hanya menggantikan pemangsa utama lautan, tetapi sebaliknya, melalui dampak kumulatif dari dua abad terakhir, secara mendasar mengubah aliran energi yang melalui ekosistem."
Tim peneliti menemukan bahwa manusia telah mengurangi biomassa ikan dan mamalia laut hingga 60 persen sejak tahun 1800-an. Hal yang lebih buruk terjadi pada hewan-hewan hidup yang berukuran paling besar di Bumi. Sebagai contoh, perburuan historis telah membuat kita kehilangan 90 persen jumlah paus di lautan.
Baca Juga: Lebih dari Perkiraan, Ternyata Paus Adalah Insinyur Penting Ekosistem
Hasil studi ini benar-benar menyoroti inefisiensi penangkapan ikan industri, catat Galbraith. Strategi penangkapan ikan kita saat ini telah membuang lebih banyak biomassa dan energi yang dimilikinya, daripada yang sebenarnya kita konsumsi.
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memahami bagaimana kehilangan besar-besaran dalam biomassa ini mempengaruhi lautan, tulis tim tersebut.
"Kabar baiknya adalah kita dapat membalikkan ketidakseimbangan yang telah kita ciptakan, dengan mengurangi jumlah kapal penangkap ikan aktif di seluruh dunia," kata Galbraith. "Mengurangi penangkapan ikan yang berlebihan juga akan membantu membuat perikanan lebih menguntungkan dan berkelanjutan."
Baca Juga: Majapahit Tak Hanya Berkuasa di Daratan, Namun Juga Merajai Lautan
Source | : | Science Alert,Science Advances |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR