Suatu siang di Observatorium Bosscha, pada tahun 1959. Pejabat Sementara Direktur Observatorium Bosscha, Prof. Dr. Ong Ping Hok, memanggil beberapa pegawainya dan menunjuk seorang astronom muda berusia 32 tahun, seraya berkata ialah yang akan memelihara Observatorium mulai saat itu. Astronom tersebut, Pik Sin Thé, baru saja pulang dari Amerika Serikat setelah dipromosikan menjadi Doktor Astronomi. Ia menerima tanggung jawab barunya untuk tidak hanya memimpin Observatorium Bosscha, tetapi juga memastikan kesinambungan penelitian astronomi di Indonesia. Ketika diwawancara oleh langitselatan 53 tahun kemudian, Pak Thé, demikian kami memanggil beliau, masih mengingat hari itu: "Demikianlah tanpa pengusulan maupun pemilihan saya menjadi Direktur Observatorium Bosscha. Waktu itu saya adalah seseorang berusia 32 tahun, tanpa pengalaman, di sebuah masa yang sulit ketika sistem keuangan mengalami inflasi sebesar 500% per tahun."
Pak Thé memimpin Observatorium Bosscha antara tahun 1959 hingga 1968. Antara tahun 1966 hingga 1968 beliau juga sekaligus menjabat Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB). Periode ini dapat dikatakan sebagai salah satu periode tersulit dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Kondisi ekonomi nasional yang memburuk memaksa pemerintah untuk memotong nilai uang dari 1.000 Rupiah menjadi hanya 1 Rupiah. Kelaparan dan kemiskinan merajalela. Observatorium Bosscha tidak terlepas dari keadaan ini. Walaupun demikian, di tengah-tengah kesulitan ekonomi dan ketidakpastian politik ini Pak Thé justru berhasil membangun sebuah teleskop modern di Bosscha untuk tetap mempertahankan keberadaan Indonesia dalam penelitian astronomi.
Kiprah Pak Thé tidak banyak diketahui bahkan di kalangan astronom Indonesia. Nama Pak Thé diketahui hanya sebatas bagian dari daftar mantan Direktur Observatorium Bosscha. Mengenai siapa sebenarnya Pak Thé, tidak banyak yang mengetahui selain generasi tertua astronom-astronom Indonesia. Nama Pik Sin Thé menjadi legenda di kalangan astronom di masa kiwari. Dalam pandangan langitselatan, usaha dan sumbangan Pak Thé dalam mempertahankan keberadaan astronomi Indonesia di tengah masa-masa sulit tahun 1960an haruslah menjadi pengetahuan khalayak. Keberadaan astronomi Indonesia pada saat ini mungkin tidak akan sama tanpa sumbangan Pak Thé. Keinginan untuk mengenal Pak Thé lebih lanjut juga didorong oleh keinginan beberapa alumni Astronomi ITB yang menjadi bagian dari komunitas langitselatan, untuk mengetahui sejarah mereka sendiri.
Agak sulit pada awalnya bagi Tim langitselatan untuk melacak keberadaan Pak Thé. Pada tahun 1968 beliau memutuskan untuk pindah ke Negeri Belanda dan mengajar di Institut Astronomi Universitas Amsterdam, dan selanjutnya diangkat menjadi guru besar astronomi di institusi tersebut. Melalui kenalan-kenalan lama Pak Thé dan juga mantan murid-muridnya di Belanda, langitselatan berhasil menghubungi beliau. Tulisan ini adalah hasil wawancara langitselatan dengan Pak Thé, yang sepenuhnya dilangsungkan dalam Bahasa Belanda.
Pak Thé berasal dari Yogyakarta. Beliau dilahirkan pada bulan November 1927 di kota tersebut. Beliau pada awalnya tinggal di Jalan Gondomanan dan kemudian pindah ke Jalan Numbak Anjar, yang pada jaman Belanda bernama Kerkhoflaan (Jalan Kuburan). "Rumah kami memang persis di sebelah kuburan orang Belanda," kata Pak Thé. "Orang tua saya keturunan Tionghoa, dan pada awalnya mereka berdagang rempah-rempah. Kemudian ayah saya mendirikan pabrik gula, namun pabrik tersebut bangkrut pada tahun-tahun krisis 1930an. Selanjutnya mereka berdagang tembakau dan juga batik."
!break!Pak Thé menempuh sekolah dasar di Hollandsch-Chineesche School met den Bijbel, sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda khusus untuk anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini menggunakan Bahasa Belanda sebagai pengantar. Pendidikan selanjutnya ditempuh di HBS (Hogere Burger School, pendidikan setaraf SMP dan SMA, dengan Bahasa Belanda sebagai pengantar). Walaupun demikian, dengan teman-temannya Pak Thé berbicara dalam Bahasa Jawa, sementara dengan orang tuanya menggunakan Bahasa Melayu.
Setamat HBS pada tahun 1949, beliau pergi ke ITB (pada masa itu ITB masih menjadi bagian dari Universitas Indonesia yang bermarkas di Jakarta) pada awalnya untuk belajar Teknik Elektro. "Saya ingin menjadi pedagang alat-alat elektronik," jawab Pak Thé ketika ditanya alasan memilih Teknik Elektro. Namun rupanya minat Pak Thé berubah setelah memperoleh ijasah propedeuse (ijasah setelah menyelesaikan kuliah-kuliah tingkat pertama, sepadan dengan Tahap Persiapan Bersama [TPB] di ITB).
"Saya lantas berpindah ke FIPIA [Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam] dan memilih Astronomi sebagai bidang studi utama dan Fisika dan Matematika sebagai bidang studi pendukung." Astronomi menarik bagi Pak Thé karena watak internasional dari studi astronomi memungkinkan beliau untuk melangsungkan penelitian di luar negeri, "di Indonesia ini tidak mungkin karena tingginya biaya yang dibutuhkan," lanjut beliau. "Orang tua saya menganggap baik keputusan saya," jawab beliau ketika kami bertanya mengenai pendapat orang tua beliau mengenai keputusan untuk berpindah ke jurusan Astronomi, yang dianggap banyak orang sebagai jurusan yang tidak menghasilkan banyak uang bagi lulusannya.
Pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, masih banyak orang Belanda yang mengajar di universitas-universitas Indonesia. Pun juga halnya dengan ITB. Ketika Pak Thé menjadi mahasiswa ITB, hanya ada dua dosen astronomi yaitu suami-istri Prof. Dr. Bruno van Albada dan Dr. Elsa van Albada-van Dien. Pada tahun 1951, Observatorium Bosscha resmi berpindahtangan dari institusi swasta, Perkumpulan Pengamat Bintang Hindia-Belanda (NISV, Nederlands-Indisch Sterrenkundige Vereeniging), ke ITB. Dekan FIPIA pada masa itu, Prof. Leeman, sudah menyadari semenjak 1948 akan pentingnya pendidikan tinggi astronomi, membuka Jurusan Astronomi di ITB dan mengangkat van Albada sebagai guru besar. Bulan Oktober 1951, ketika van Albada dikukuhkan sebagai guru besar dan menyampaikan orasi pengukuhannya mengenai alam semesta dini, dianggap sebagai awal permulaan pendidikan tinggi astronomi di Indonesia. Pak Thé adalah salah satu dari mahasiswa astronomi angkatan pertama.
"Saya membiayai kuliah dengan menjadi guru paruh-waktu di berbagai sekolah, dan juga memberikan kursus privat kepada murid-murid SMA," ujar Pak Thé. "Sistem perkuliahan pada masa itu masih kental bersistem Belanda. Kemandirian yang tinggi sangat diharapkan dari mahasiswa, di mana dosen menerangkan dan mahasiswa mencatat apa-apa yang dirasa penting. Ujian diberikan tertulis namun dapat pula diberikan ujian lisan."
!break!Teman-teman kuliah Pak Thé adalah orang-orang yang kemudian tetap bekerja di bidang astronomi. "Rekan-rekan saya semasa mahasiswa adalah Santoso Nitisastro, Kusumanto Purbosiswojo, Bambang Hidajat [sic], dan Jorga Ibrahim. Santoso kemudian menjadi Direktur Planetarium Jakarta. Kusumanto kemudian bekerja di LAPAN [Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional], sebuah proyek antariksa yang dibiayai Presiden Soekarno. Bambang kemudian menjadi Direktur Observatorium Bosscha dan juga guru besar di FIPIA. Jorga menjadi dosen di FIPIA."
Sebagaimana mahasiswa kini, mahasiswa pada masa itu juga harus mengerjakan tugas akhir sebelum dapat memperoleh gelar doktorandus. "Topik tugas akhir saya adalah tentang identifikasi garis-garis spektrum, di bawah bimbingan Dr. Elsa van Albada-van Dien." Pak Thé lulus dari ITB pada tahun 1958 persis ketika keluarga van Albada harus kembali ke Negeri Belanda.
Pada tahun 1958 pemerintah Indonesia memboikot Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di Indonesia, karena kampanye Presiden Soekarno untuk mengambil alih Irian Barat dari Belanda. Seluruh orang Belanda di Indonesia harus kembali ke Negeri Belanda. Pada bulan Juli 1958 Prof. van Albada dan Dr. Elsa van Albada-van Dien pergi dari Indonesia, kepemimpinan Observatorium Bosscha dijabat sementara oleh Prof. Dr. Ong Ping Hok dari Jurusan Fisika. Pada tahun itu pula, dengan bantuan beasiswa AID yang diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, Pak Thé berangkat ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan Doktor di Case Institute of Technology (sekarang Case Western Reserve University).
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR