Di bawah bimbingan astronom Victor M. Blanco, Pak Thé memanfaatkan plat-plat fotografi yang telah diambil Observatorium Warner dan Swasey, yang juga berafiliasi dengan Case, sebagai bahan penelitian beliau. Hasilnya, dalam waktu satu tahun beliau telah menyelesaikan penelitiannya dan berhak menyandang gelar Doktor. "Saya bekerja keras dan tidak membuang-buang waktu. Saya juga sudah siap menghadapi apa-apa yang akan dituntut dari seorang mahasiswa PhD," demikian jawab Pak Thé ketika ditanya apa resepnya menyelesaikan penelitian PhD hanya dalam waktu satu tahun. Pak Thé adalah orang Indonesia pertama yang bergelar Doktor astronomi. "Karena saya adalah orang pertama dari Indonesia yang dipromosikan menjadi Doktor astronomi, saya merasakan tanggung jawab yang begitu besar untuk mempertahankan dan menyuburkan astronomi di Indonesia," ujar beliau. "Apabila saya melihat situasi di Observatorium Bosscha sekarang, boleh dikatakan saya telah berhasil," lanjutnya.
!break!Sekembalinya dari Amerika Serikat, pada tahun 1959, Prof. Dr. Ong Ping Hok langsung mengangkat Pak Thé menjadi Direktur Observatorium Bosscha. Tanggung jawab pertama beliau sebagai Direktur adalah memimpin pemasangan komponen optik teleskop Schmidt Bima Sakti. Teleskop yang disumbangkan oleh UNESCO ini datang pada tahun 1958 dan telah dipasang oleh Prof. van Albada. Komponen optik teleskop itu sendiri disumbangkan oleh Observatorium Yerkes di Chicago, namun mereka menolak mengirim cermin tersebut setelah menyadari bahwa perginya keluarga van Albada dari Observatorium Bosscha menimbulkan ketiadaan orang yang mampu menangani komponen yang berharga tersebut. Lulusnya Pak Thé dari universitas Amerika Serikat, dan terlebih lagi dalam waktu yang sangat singkat, mengembalikan kepercayaan Observatorium Yerkes akan kemampuan Observatorium Bosscha dalam menangani elemen optik tersebut. Dengan bantuan Victor Blanco dan teknisi Observatorium, Sutia, dalam waktu beberapa bulan Pak Thé menyelesaikan pemasangan dan kalibrasi cermin Teleskop Schmidt. "Inilah sumbangan terbesar saya sewaktu menjabat Direktur," kenang Pak Thé.
Teleskop Schmidt adalah teleskop dengan medan pandang luas yang memungkinkan astronom memotret porsi langit yang cukup luas (medan pandang Teleskop Schmidt kira-kira 5° × 5°. Sebagai perbandingan, diameter semu bulan kira-kira 0.5°). Teleskop ini cocok sekali untuk melakukan survey dan cacah bintang, dalam rangka meneliti struktur Galaksi Bima Sakti. Lembang adalah lokasi yang pantas untuk sebuah teleskop survey semacam ini karena pada musim kemarau, sekitar tengah malam, pusat Galaksi Bima Sakti berada pada arah di sekitar zenith.
Sudah banyak plat-plat fotografi diambil oleh teleskop ini semenjak pemasangannya dan hasil-hasil penelitiannya telah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah luar negeri. Akan tetapi teleskop ini kini tidak aktif karena teknologi teleskop ini masih menggunakan plat fotografi yang sudah tidak lagi diproduksi, dan stok yang tersedia di Observatorium sudah terlalu tua. Usaha untuk meremajakan teleskop ini dengan memasang detektor digital seperti biasa terbentur pada persoalan pendanaan. Saya menceritakan hal ini kepada Pak Thé dan beliau berkomentar, "dus dit telescoop is nu nganggur?" (jadi teleskop ini sekarang nganggur?) Saya mengangguk mengiyakan, sambil sedikit nyengir karena beliau menggunakan kata nganggur untuk menggambarkan ketidakaktifan Teleskop Schmidt, dan beliau hanya berkomentar, "jammer..." (sayang ya...)
!break!Selain meneliti, Pak Thé juga harus mengajar. "Ketika Prof. van Albada pulang ke Belanda dan saya berangkat ke Amerika Serikat, di Lembang masih tinggal Santoso, Kusumanto, Bambang, Jorga, Winardi Sutantyo, dan Iratius Radiman." Pak Thé membimbing mereka menuju penyelesaian studi mereka dan juga berusaha mencari jalan untuk dapat mengirim mereka ke luar negeri dan mengambil gelar Doktor. Belajar di bawah Pak Thé membutuhkan kemandirian yang tinggi. "Untuk setiap satu mata kuliah, saya memberikan sebuah buku untuk mereka pelajari. Selanjutnya mereka saya datangi untuk diuji."
Pak Thé juga harus memimpin Observatorium melalui masa-masa tersulitnya di tahun 1960an. "Di tahun-tahun krisis keuangan tentunya anggaran Observatorium tidaklah cukup. Pada waktu itu saya harus merawat 10 bangunan milik Observatorium, namun untuk hal ini pun uang tidak ada." Di bawah kepemimpinan Pak Thé bekerja pula 30 orang pegawai, mulai dari asisten mahasiswa hingga pegawai rendah. Sumber dana lain pun harus dicari untuk menjalankan roda operasional. "Saya meminta kepada teman-teman ITB saya yang lebih beruntung agar menyumbangkan materi untuk Observatorium. Dari mereka saya memperoleh cat coklat untuk bangunan dan cat perak untuk kubah refraktor Zeiss," demikian Pak Thé bercerita. Tidak hanya persoalan perawatan fasilitas Observatorium, Pak Thé pun juga mencari cara untuk membantu para pegawainya. "Untuk membantu para pegawai, tanah milik Observatorium dipinjamkan untuk dibagi-bagi kepada mereka. Dengan demikian mereka dapat bercocok tanam untuk keperluan sendiri atau untuk dijual." Pak Thé juga secara pribadi meminjamkan uang kepada para pegawainya yang membutuhkan. "Saya bagaikan bankir bagi para pegawai," canda Pak Thé. "Saya tulis di sebuah papan, berapa jumlah uang yang dipinjam setiap pegawai. Pada hari gajian, mereka bertanya berapa gaji mereka harus dipotong untuk membayar hutang," lanjut Pak Thé. "Pada akhirnya saya berkata, \'sudah tidak apa-apa, uang itu tidak perlu dikembalikan\'," lanjut beliau.
Ipar Pak Thé yang memiliki apotek di Bandung juga turut membantu dengan memberikan obat cuma-cuma kepada para pegawai dan keluarga mereka. "Penyakit yang paling umum diderita adalah diare dan radang mata," cerita Pak Thé. "Untuk penguatan rohani, setiap Jumat datang seorang kyai dari masjid di Lembang untuk memberikan ceramah," lanjut beliau. "Gaji saya sendiri tidak cukup untuk menghidupi keluarga saya. Untungnya selama menjadi mahasiswa PhD di Amerika Serikat, saya sempat menabung. Uang ini disimpankan oleh promotor saya, Prof. Blanco."
Pada tahun 1966, Pak Thé diangkat menjadi Dekan Fakultas MIPA ITB. Proses ini berlangsung sesederhana pengangkatan beliau menjadi Direktur Observatorium Bosscha. "Pada suatu hari Prof. Moedomo dari bagian Matematika bertanya kepada saya apakah saya bersedia menjadi Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Saya hanya menjawab \'Ya.\' Demikianlah saya di samping menjadi Direktur Observatorium Bosscha juga menjadi Dekan Fakultas."
Dua tahun kemudian, Pak Thé memutuskan untuk meninggalkan Observatorium Bosscha dan pindah ke Universitas Amsterdam. "Meskipun saya memegang dua jabatan penting di Indonesia, kesempatan saya untuk mengembangkan karir ilmiah saya sangat kecil," jawab beliau ketika kami bertanya alasan kepindahan beliau. Pak Thé menjelaskan, "meskipun Observatorium Bosscha mengendalikan dua buah teleskop besar, namun potensi pengamatannya sangat terbatas. Di luar negeri, orang misalnya dapat mengamat dengan fasilitas dari European Southern Observatory [ESO] atau dengan satelit. Jika menjadi astronom di Indonesia, orang kehilangan kesempatan ini."
Keterbatasan ini tentunya bukan karena kapabilitas manusia Indonesia. "Kemungkinan finansialnya tidak ada," demikian komentar Pak Thé. Beliau membuktikan bahwa kesempatan yang tersedia di Eropa dimanfaatkan dengan sebaik-baik kemampuan intelektual beliau. "Dengan bekerja sama dengan astronom di dalam maupun di luar Belanda, di Amsterdam saya mampu menerbitkan 200 makalah ilmiah."
!break!Kami lalu memeriksa daftar publikasi Pak Thé melalui mesin pencari makalah ilmiah yang disediakan NASA, dan menemukan 230 publikasi yang ditulis Pak Thé baik sendiri maupun dengan rekan-rekan beliau, pasca kepindahan beliau ke Amsterdam. Sekitar 130 makalah diterbitkan di jurnal yang melalui proses penilaian sejawat (peer review). Dengan karir sepanjang kira-kira 30 tahun di Amsterdam, tentu saja ini kira-kira empat kali lebih produktif daripada 5 makalah ilmiah serupa yang beliau publikasikan semasa bekerja di Lembang. Tidak hanya itu, Pak Thé juga aktif mengorganisir konferensi ilmiah yang berwatak internasional.
Apakah produktivitas Pak Thé dalam berkontribusi pada ilmu pengetahuan dapat dicapai di Indonesia? "Bila saya tetap di Indonesia, hal ini tidak akan mungkin saya capai," jawab beliau.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR