Saya berjanji akan pulang di hari ketiga pendakian kepada keluarga saya. Mereka akan menunggu di pintu rimba. Dua hari yang lalu, ketika saya berpamitan, Istri saya, Elfa Yeni mencium punggung tangan lalu memeluk saya kuat sekali. Matanya berkaca-kaca, "kembalilah tepat waktu," lirihnya. Inilah suasana paling romantis yang pernah saya rasakan sepanjang 18 tahun perkenalan kami.
Gemuruh kaldera aktif Gunung Kerinci menahan pendakian saya di pemberhentian terakhir sebelum cadas. Suaranya memag tak segelegar petir, tapi cukup menciutkan nyali. Alam tak boleh dilawan, batin saya. Kami mendirikan tenda dalam kondisi rinai dan angin kencang. Menjelang magrib, hujan badai menyerang.
Saya tidur meringkuk di dalam kantung tidur. Suhu di luar tenda mencapai 8 derajat selsius. Tiga orang rekan saya di dalam tenda juga tak kuasa menahan dingin. Dalam gelap, saya membayangkan wajah Setiawan Mulyana, pendaki yang hilang 27 Desember 2014 yang lalu. Mayatnya tentu belum sepenuhnya membusuk jika suhu udara selalu begini. Tapi, tak seorangpun tahu keberadaan jasad Setiawan, hingga tepat empat bulan kemudian saya mendaki gunung itu lagi.
Posisi tenda saya beruntung karena diapit oleh dua tenda dari kelompok pendaki lain. Tapi deraan hujan tak membuat tidur menjadi nyenyak. Saya masih berharap badai mereda dan pendakian ke puncak dapat saya lakukan pagi buta di esok hari. Jarak saya dari kaldera masih tersisa sekitar 500 meter dihitung vertikal. Tapi gunung api aktif tertinggi di Indonesia itu sepertinya masih menyimpan misteri.
Puncak Gunung Kerinci berada di ketinggian 3.805 meter dari permukaan laut (mdpl). Tepat setahun sebelum pendakian itu, saya sudah merasakan dinginnya pangkuan kebun teh yang terhampar di Kayu Aro. Patung harimau tampak mengaum pada persimpangan jalan menuju pos R10, pos pendakian yang dikawal oleh pegawai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). R10 kurang lebih empat kilometer jauhnya dari patung harimau mengaum di jalan utama di desa Kersik Tuo, Kecamatan Gunung Kerinci.
Kebun teh yang terhampar luas memikat banyak wisatawan datang. Kedatangan mereka kebanyakan hanya sekedar menikmati hawa pegunungan yang sejuk, atau hanya singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalan menikmati air terjun Telun Berasap di Leter W atau mandi di Air hangat Semurup. Tapi banyak juga yang datang untuk bertualang mendaki gunung. Beberapa penginapan sederhana tersedia dengan harga yang cukup terjangkau.
Keriuhan kaki Gunung Kerinci mestinya adalah keriuhan yang senyap. Suara mobil yang berseliweran di jalan utama teredam oleh suara angin yang kadang bertiup kencang. Rumah-rumah berkelompok dan dibangun dengan tiang-tiang rendah, menjaga agar kondisi dalam rumah tetap hangat.
!break!Sesungguhnya saya sudah bersepakat dengan Danuri, petugas TNKS di R10, untuk mendaki hanya sampai shelter 2 di ketinggian kira-kira 3.000 mdpl. Tapi panggilan Yudha Sentika—pendaki yang hilang pada Juni 1990—dari cadas gunung telah memaksa saya bergelantungan di akar-akar pohon pada pendakian antara shelter 2 ke shelter 3.
Ketika nafas saya tersengal di tanjakan-tanjakan maut antara shelter 2 dan shelter 3, saya masih membayangkan Elfa dan anak-anak kami yang menanti kepulangan saya tiga hari kemudian di pintu rimba. Bayangan itu seolah memberikan tambahan energi bagi tubuh saya yang sudah terpakai selama 40 tahun ini. Akar-akar pohon yang menyembul di permukaan tanah menjadi tumpuan sempurna bagi tangan dan kaki untuk terus memanjat lereng, beberapa diantaranya hampir 100% setara dengan 90 derajat, tegak lurus.
Saya sudah memasuki vegetasi hutan sub-alpin tiga jam setelah menempuh pendakian dari shelter 1, tempat kami menginap di malam pertama. Vegetasi sub-alpin didominasi oleh tumbuhan perdu yang rendah. Kebanyakan diantara tumbuhan itu, batangnya tampak lebih besar dari aslinya karena lumut telah menyelimuti sekujur permukaannya.
Tapi Tuhan telah menciptakan jenis hutan dengan tipe ini dengan tumbuhan yang kuat. Walau batangnya kecil, tak lebih besar dari genggaman tangan, tapi kuatnya luar biasa. Di pendakian-pendakian maut sepanjang perjalanan, akar dan batang itu telah menjadi penyambung nyawa bagi para pendaki.
Saya memerhatikan dedaunan yang menempel di batang-batang itu. Jumlahnya tak banyak, namun saya merasakan tebalnya sama seperti ketika saya meraba daun telinga, tebal tapi dingin dan kaku. Jenis-jenis seperti ini memang merupakan penciri khusus dari tipe vegetasi sub-alpin, dimana daun secara biologis berfungsi memasak makanan sekaligus menguapkan air. Dengan daun kecil dan tebal, tumbuhan sejenis ini telah memaksa air terperangkap di dalamnya dan tidak banyak menguap ke udara.
Menjelajah vegetasi sub-alpin, tutupan vegetasi semakin lama akan semakin berkurang. Pohon perdu yang tumbuh di zona awal tergantikan dengan perdu yang lebih rendah. Lumut juga demikian, semakin lama akan semakin berkurang. Tapi bila diperhatikan, warna warni dedaunan yang menutupi perdu itu justru tampak lebih indah ketimbang bunga-bungan yang selama ini kita kenal.
Kantung semar saya temukan menyelinap diantara semak perdu di pertengahan pendakian antara shelter 1 dengan shelter 2. Para pendaki yang bertemu saya di sepanjang perjalanan, maupun di tempat kami menginap di ketinggian 3.351 mdpl, tak banyak yang bertemu dengan jenis tumbuhan ini. Kantung semar tersuruk menyamar diantara rimbun dedaunan yang didominasi warna hijau dan merah.
Sesungguhnya tumbuhan karnivora ini merupakan daun yang berubah fungsi menjadi penyerap makanan. Bentuknya lonjong dengan katup bergerigi di ujungnya. Di dalam kantung, tersedia cairan yang berbau unik sebagai penarik serangga. Dalam pencarian saya, tumbuhan unik ini teryata memiliki 130 spesies dan penyebarannya luas di Indo China hingga utara Australia dan Selandia Baru. Bahkan ada diantara jenis ini yang sanggup mencerna anak kodok di kantungnya.
!break!Saya masih menyisakan letih pada pendakian hari kedua saat seekor burung dari keluarga sturnidae berjingkrak di jalur pendakian. Burung ini sesungguhnya bukan burung tanah karena sayapnya cukup kuat menopang tubuhnya ketika terbang. Tapi kesenyapan jalur pendakian itu telah membuat jenis ini berani turun ke tanah. Jenis ini memakan serangga serta biji-bijian.
Burung-burung lain juga jamak beterbangan. Vegetasi montana (antara 1.500 – 2.500 mdpl) yang berada di bawah shelter 2 merupakan rumah yang sangat ideal bagi kehidupan mereka. Jenis makanan tersedia dalam jumlah besar, ditambah lagi pemangsa yang hanya datang sesekali. Sering langkah saya terhenti di tanjakan hanya untuk berkejaran dengan mereka, tapi sayang lensa kamera yang saya bawa tidak cukup panjang untuk menjangkaunya.
Andai saja para penyuka pengamatan burung berkemah cukup panjang di wilayah vegetasi montana ini, tentulah mereka sangat dimanjakan. Pemandu di Gunung Kerinci, Lihun yang berjalan bersama saya kerap berhenti hanya sekedar mengingatkan jika dia melihat burung atau spesies menarik lainnya. Tapi sayang, kadang dia hanya mampu menunjukkan tanpa bisa menerangkan.
Pemandu ini patut belajar tentang berbagai jenis satwa dan tumbuhan di sepanjang jalur pendakian. Dengan pengetahuannya itu, Lihun tentunya akan menjadi pemandu idola bagi para pendaki. Balai TNKS punya pekerjaan rumah yang tidak sedikit jika ingin memajukan wisata petualangan di kawasannya.
Lihun pulalah yang menghentikan langkah saya dalam perjalanan kami mendekati pos Bangku Panjang di ketinggian 1.889 meter. Dia menyaksikan sekeluarga siamang sedang berayun di akar-akar liana yang menggantung pada tiang pohon dari jenis meranti yang cukup tinggi. Saya terperanjat, siamang jantan yang saya saksikan itu berukuran paling besar sepanjang saya mengenal jenis ini.
Monyet ini memang terbiasa hidup dalam kelompok atau keluarga. Mereka mencari makan dan membangun tempat peristirahatan bersama. Siamang betina dan anaknya sudah pergi menjauh sementara si jantan masih asik bersantai. Dalam pengintaian saya, keluarga siamang itu mengingatkan saya pada kedua anak saya yang menanti kepulangan ayahnya.
!break!
Kaki saya terperosok dalam lumpur yang cukup dalam karena keasikan membidikkan kamera pada siamang itu. Lihun mengingatkan agar tak mengganggu mereka. Beberapa kelompok pendaki yang lewat terlibat perburuan foto. Kadang kehadiran mereka terasa mengganggu di, tapi persahabatan sesama pendaki lebih saya utamakan ketimbang egoisme mendapatkan foto.
Di tempat yang sama, tiga hari setelah perjumpaan saya dengan siamang, keluarga simpai tampak bercengkrama. Mereka menjauh sesaat sadar akan kehadiran saya. Gerak cepat monyet bewarna kuning kecokelatan ini tak tertandingi. Manuver udara dari pohon ke pohon yang mereka lakukan bahkan sulit terkejar mata. Rindangnya tajuk kadang turut membantu kamuflase jenis ini.
Primata unik ini memiliki jambul di kepalanya. Saya teringat potongan rambut David Beckham, mungkin saja terisnpirasi dari kera jenis ini. Simpai merupakan primata endemik pulau Sumatera. Jenis ini sudah dimasukkan lembaga Internasional untuk konservasi alam (The International Union for Conservation of Nature/ IUCN) ke dalam kategori terancam.
Vegetasi montana yang kami lewati dipenuhi pokok pohon tinggi. Saya dan Lihun kadang harus berhenti dibawahnya untuk sekedar menghela nafas dan meminum sedikit air. Hawa hutan tropis yang dingin memaksa kami untuk tak berhenti berlama-lama. "Supaya tubuh tetap hangat," kata Lihun.
Tapi kadang saya memang berhenti lama. Seeokor tupai mengajak saya bercanda di pemberhentian pondok panorama diketinggian 2.225 mdpl. Saya tahu, tupai ini berkelamin betina dan sepertinya dia sedang menyusui. Anaknya mungkin ditinggal di salah satu lubang yang sudah dia diami cukup lama. Tampaknya dia mengenal baik wilayahnya karena begitu ada gerakan mencurigakan, dia menghilang beberapa saat lalu kemudian muncul lagi.
Para pedaki juga sering bertemu dengan tupai ini. Untungnya tak banyak pendaki usil yang membuat si tupai tak betah. Para pendaki menyediakan makan sisa agar didatangi tupai. Agaknya, kebiasaan ini yang membuat tupai ini betah bermain dengan saya.
!break!Serasah hutan yang sudah becek menambah berat langkah saya ketika harus berhadapan dengan tanjakan yang membutuhkan tenaga lebih. Rinai turun bertepatan dengan suara angin yang menerpa seisi rimba. Kami melepas penat di pemberhentian shelter 1.
Vegetasi belukar gleichenia atau paku-pakuan menghadang saya di ketinggian 2.500 mdpl. Daunnya yang bermiang serta patahan batangnya yang tajam membuat pendaki harus berhati-hati. Walau sedikit bertindihan dengan vegetasi sub-alpin, paku-pakuan adalah tumbuhan kuat yang mampu bertahan di segala kondisi cuaca. Seperti lumut, tumbuhan paku kerap dikatakan sebagai tumbuhan perintis. Beberapa jenis diantaranya merupakan epifit yang menumpang tinggal di pohon-pohon besar, termasuk paku sarang burung.
Para pendaki yang ingin menikmati pendakian ke Gunung Kerinci, kadang dituntut harus sabar. Tak jarang saya mengintai kemunculan satwa cukup lama. Walau mengganggu jadwal yang sudah disusun, tapi hal ini menarik. Bagi saya, mendaki gunung bukan sekedar berjalan di tanjakan, tapi mendaki gunung adalah juga belajar lebih banyak tentang apa yang ada disepanjang jalur pendakian itu.
Saya masih membayangkan komentar anak saya Arung, saat hujan tak juga mereda di shelter 3. "Mengapa ayah mendaki sendiri, Arung mau ikut," ucapnya ketika melepas kepergian saya di pintu rimba. Saya hanya menjanjikan kalau dia akan ikut dalam pendakian berikutnya.
Elfa meredakan ledakan semangat Arung dengan bercerita tentang Suku Anak Dalam yang hidup di dalam hutan. Sebagian besar mereka masih membutuhkan fasilitas pendidikan yang layak. Dia menjanjikan Arung akan ikut bermain dan menggambar dengan mereka karena pendakian yang saya lakukan ini merupakan bagian dari ekspedisi keluarga bertajuk SAD3805G7.
Ekspedisi ini melakukan perjalanan pendakian gunung Kerinci, pendakian Gunung Tujuh dan hidup bersama komunitas Suku Anak Dalam. Kecuali ikut mendaki Gunung Kerinci, Arung terlibat di dua kegiatan berikutnya.
!break!Gelegar magma di perut bumi dari ketinggian shelter 3 membuyarkan bayangan saya atas Elfa dan Arung. Pagi yang saya tunggu teryata masih menyisakan hujan dan badai. Beberapa kelompok pendaki turut tertahan di tempat itu.
Sepupu saya, Hendra Noval, cukup berpengalaman di Gunung Kerinci. Kami mendaki gunung itu 20 tahun yang lalu bersama. Menurutnya, cuaca di gunung memang tak selalu diprediksi dengan tepat. Sebelum pendakian, dia sudah menghubungi kepala resot TNKS dan dinyatakan cuaca baik walau kaldera di puncak gunung sedang \'batuk\'.
Di shelter 3, dia meghubungi sentral stasiun radio di Sungai Penuh. Operator di ujung radio membenarkan cuaca diprediksikan buruk dalam dua hari kedepan. Menjelang siang, kami akhirnya memutuskan untuk kembali. Surat perjanjian yang saya buat bersama Danuri di R10 masih terbayang di benak saya. Saya telah melanggarnya.
Sebelum memutuskan untuk kembali, kami berdoa untuk Setiawan dan Yudha agar mereka baik-baik saja. Saya membayangkan 20 tahun silam ketika berdoa ditempat ini untuk Yudha, bahkan masih sempat menyambangi tugunya bersama Hendra. Tugu itu dibuat khusus untuk Yudha, sekaligus juga untuk mengenang para pendaki yang hilang di Gunung Kerinci dan sebagai peringatan agar para pedaki tak dihinggapi sifat pongah, teledor serta egois.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR