Nationalgeographic.co.id—Seorang wanita yang dikubur dengan diadem (mahkota perak) di Zaman Perunggu Spanyol, kini telah direkonstruksi. Hasilnya menunjukkan ekspresi tenang dengan anting-anting besar yang menjuntai dari telinganya.
Pada awal 2021, para peneliti mengumumkan bahwa mereka telah menemukan jenazah seorang wanita dan seorang pria yang dikebumikan bersama dalam sebuah pot keramik besar yang terkubur di sebuah istana kuno.
Pria itu meninggal beberapa tahun sebelum wanita itu, tepatnya setelah dia meninggal di kemudian hari, seseorang membuka kembali pot dan meletakkan tubuhnya di sebelahnya.
Sekarang, dengan menggunakan sebagian tengkorak dan perhiasan dari penguburan, seorang Ilustrator ilmiah telah menciptakan kembali wajah wanita itu secara digital, serta wajah orang lain yang dikubur di situs tersebut, yang dikenal sebagai La Almoloya.
"Tantangan terbesar tentang rekonstruksi wajah ini adalah bahwa bagian atas tengkoraknya tidak bertahan selama berabad-abad," ucap Joana Bruno, ilustrator ilmiah lepas yang menciptakan rekonstruksi digital dan kolaborator dengan arkeolog La Almoloya dari Autonomous University of Barcelona.
"Untungnya, diadem ditemukan di tempatnya, di sekitar kepalanya, sehingga memberi kita beberapa ukuran untuk kepalanya, tapi itu masih sebuah tantangan,” sambungnya.
Identitas wanita yang mengenakan diadem itu telah menarik perhatian para ilmuwan sejak para arkeolog menggali pemakamannya pertama kali pada tahun 2014. Barang-barang pemakamannya yang mewah termasuk diadem, kalung manik-manik, cincin perak, dan gelang. Selain itu, teko minum dan penusuk bergagang perak, alat yang digunakan untuk memotong tekstil bahkan memiliki kualitas unggul dan lebih berharga daripada barang yang dikubur bersama pria itu.
Para peneliti mengatakan kekayaan tersebut seolah menunjukkan wanita itu memiliki lebih banyak kekuatan daripada pasangan penguburannya. Dia hidup lebih lama daripada pasangannya dan masih dikubur dengan barang-barang berharga.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR