Autisme atau Autistic Spectrum Disorder (ASD), akhir-akhir ini meningkat bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Gejala ASD bersumber dari gangguan pada fungsi saraf, sehingga rangsang yang diterima oleh sistem saraf penyandang ASD tidak bisa diproses sebagaimana mestinya.
Orangtua dapat mengamati perkembangan anaknya pada usia 2 tahun pertama, apakah mengalami defisit dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial yang terjadi dalam segala situasi (di rumah, di tempat umum, dan lainnya). Secara lebih spesifik, ciri-cirinya bisa digambarkan sebagai berikut:
1. Defisit dalam social-emotional reciprocity. Ketika diajak melakukan interaksi sosial, semisal berbicara dan bermain, anak tak menunjukkan respons, seperti menanggapi senyuman pengasuh/anak lain, emosinya tampak datar. Anak tak tertarik menyapa/disapa oleh orang lain, ketika diajak bermain/berbicara, seakan-akan orang lain tidak ada.
2. Kala berinteraksi dengan seseorang, anak ASD tak mampu menunjukkan perilaku nonverbal yang biasa digunakan ketika kita bercakap-cakap dengan orang lain. Seperti: tak terjadi tatap mata; bahasa tubuh tampak aneh; ekspresi muka tak sesuai dengan konteks pembicaraan yang terjadi (pada topik pembicaraan yang lucu, dia tidak tertawa; topik pembicaraan sedih, dia tidak mengerti bagaimana mengekspresikan rasa sedih).
3. Anak ASD sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, seperti mengalami hambatan untuk bermain pura-pura dan membina pertemanan, seakan-akan ia tak mengerti mengapa kita perlu mempunyai teman.
4. Ada beberapa ciri lagi untuk menentukan tingkat keparahan ASD. Di antaranya: apakah secara menetap, ia melakukan gerakan yang sama secara berulang–ulang, selalu membariskan benda/mainannya seakan-akan ia tidak punya ide, mainan itu bisa dimainkan dengan cara lain; ketika diajak berbicara, ia tidak paham apa isi pembicaraan, karena itu ia hanya mengulangi apa yang diucapkan oleh orang lain (membeo).
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR