Nationalgeographic.co.id—Menuju tengah malam, 30 November 2021, Barbados secara resmi memutuskan ikatannya dengan Persemakmuran Inggris setelah ditempuhnya hampir 400 tahun.
Pada upacara senin malam itu, Pangeran Charles mengungkapkan pengakuannya. "Pangeran Charles mengakui 'kekejaman yang mengerikan dari perbudakan' yang mungkin telah dilakukan Inggris selama ini," tulis Lauren Said-Moorhouse dan Max Foster kepada CNN.
Mereka menulis peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah itu, dalam artikelnya yang berjudul Barbadians celebrate the birth of a republic and bid farewell to the Queen, yang dipublikasi 30 November 2021.
"Barbados resmi mencopot Ratu Elizabeth II sebagai kepala negara dan melantik Presiden pertamanya," tambahnya. Sandra Mason, berusia 73 tahun, yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur jenderal, dilantik sebagai presiden pertama Barbados.
Momentum bersejarah ini dideklarasikan, bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Barbados pada 30 November 1966. "Pangeran Charles mengatakan dia 'sangat tersentuh' telah diminta untuk berpartisipasi dalam peringatan tersebut," lanjutnya.
"(Pangeran Charles) merenungkan proses berlarut-larut yang dialami negara pulau berpenduduk kurang dari 300.000 orang itu untuk menjadi sebuah republik," imbuhnya.
Halaman berikutnya...
Pangeran Charles menyatakan, "Penciptaan Republik ini menawarkan awal yang baru, tetapi juga menandai titik pada kontinum, tonggak sejarah di jalan panjang yang tidak hanya Anda tempuh, tetapi juga yang telah Anda bangun," demikian seperti dikutip CNN.
"Dari hari-hari tergelap di masa lalu kita, dan kekejaman perbudakan yang mengerikan, yang selamanya menodai sejarah kita, orang-orang di pulau ini menempa jalan mereka dengan ketabahan yang luar biasa," lanjut Pangeran Charles.
"Emansipasi, pemerintahan sendiri, dan Kemerdekaan adalah titik jalan Anda. Kebebasan, keadilan dan penentuan nasib sendiri telah menjadi panduan Anda," katanya lagi.
Keputusan Barbados menandai pertama kalinya dalam hampir tiga dekade bahwa sebuah negara persemakmuran telah memilih untuk menghapus raja Inggris dari kedudukan kepala negara. Negara terakhir yang melakukannya adalah Mauritius pada 1992.
Baca Juga: Berkat Karyanya, Penyanyi Top Rihanna Resmi Jadi Pahlawan Nasional
"Barbados adalah tempat kelahiran para budak Inggris yang paling kejam, mereka dijajah oleh elit penguasa Inggris," tulis Sir Hilary Beckles kepada African American Intellectual History Society (AAIHS).
Ia menulis perjalanan sejarah kelam, perbudakan kejam masyarakat Barbados oleh Inggris, dalam artikelnya berjudul On Barbados, the First Black Slave Society, dipublikasikan pada 8 Agustus 2017.
"Mereka mendapatkan kekayaan dari gula yang diproduksi oleh tenaga kerja sekali pakai yang diperbudak, dan kekayaan besar ini mengamankan tempat Inggris sebagai negara adidaya kekaisaran dan menyebabkan penderitaan yang tak terhitung," tambahnya.
Baca Juga: Teror Tahun 1975 di Belanda, Menagih Janji Maluku Selatan yang Merdeka
"Ketidakmanusiawian, amoralitas dan kebrutalan dari ketergantungan Inggris pada perbudakan, dan yang diperbudak menjadi sumber utama kekayaan baru Inggris. Inggris memulai era baru di Barbados, dan Barbados baru diciptakan oleh Inggris," imbuhnya.
Meski begitu, banyak orang Barbados juga menyambut baik perubahan tersebut. Mereka siap menatap masa depan yang baru sebagai negara yang merdeka secara utuh, tak terikat lagi dengan Monarki Inggris.
Upacara perayaan yang semarak itu juga menampilkan musik dan tarian Barbados. Namun, penampilan yang paling ditunggu adalah kehadiran Rihanna. "Rihanna diangkat menjadi pahlawan nasional," sambung Lauren Said-Moorhouse dan Max Foster.
Gerakan Republik Australia mengucapkan selamat kepada Barbados yang telah menandai langkah penting untuk menuju kemerdekaan secara penuh. "Perayaan ini akan tercatat sebagai sejarah baru di dunia internasional," pungkasnya.
Baca Juga: Ditemukan Kerangka Orang Jute, Penutur Asli Bahasa Inggris di Kent
Source | : | CNN,African American Intellectual History Society (AAIHS) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR