Setiap pagi para nelayan di daerah Kampung Pojok, Jakarta berkumpul dan melihat kualitas air laut untuk menentukan apakah mereka akan berangkat melaut setelah melihat angin dan situasi laut.
Salah satu nelayan tersebut bernama Lukman. Ia tinggal bersama keluarganya dalam sebuah rumah bertingkat di dekat tanggul laut di daerah Kampung Pojok.
Sehari-hari ia menangkap ikan untuk memenuhi nafkah keluarganya. Akan tetapi sekarang jumlah ikan semakin sedikit. Belum lagi naiknya permukaan laut karena Jakarta tenggelam. “Laut sekarang jadi teman juga lawan karena setiap tahun saya mesti meninggikan rumah saya. Entah siapa yang menang nantinya,” tutur Lukman.
Kadang para nelayan berlayar jauh keluar dari teluk untuk memancing. Mereka juga saling berdekatan dan memutuskan untuk menggunakan jala dan pancing kecil. Kualitas air laut sekarang bisa jadi buruk sekali sehingga mereka mesti berlayar jauh sekali.
“Kalau laut sedang tidak menentu keadaannya, kami lebih baik di rumah saja,” ujarnya.
Lukman menggunakan navigasi digital untuk menemukan area memancing yang paling menjajikan. Menurutnya, area dangkal di sekitar kapal karam biasanya banyak ikannya.
Ia berbagi pengetahuan tentang area memancing ini kepada nelayan lainnya di komunitasnya. Lukman mengatakan bahwa dekat kepulauan Seribu juga selalu banyak ikannya.
“Tapi itu jauh sekali dan artinya saya mesti berlayar sehari semalam. Bisa jadi sangat berbahaya juga karena ombaknya tinggi, sementara perahu saya tidak cukup besar ukurannya,” pungkas Lukman.
Kisah pendek ini bagian dari Proyek Utarakan Jakarta – Speak up (North) Jakarta lewat laman www.utarakanjakarta.com. Proyek ini bertujuan untuk mengabarkan dan meningkatkan kesadaran tentang banjir di Jakarta, sekaligus menunjukkan urgensi untuk melindungi Jakarta dari banjir.
Utarakan Jakarta menggambarkan kehidupan empat warga yang hidup di balik tembok laut di Jakarta Utara. Gambaran tersebut menangkap soal perjuangan mereka melawan banjir, rumah yang terendam dan harga air minum di sebuah kota yang di ambang tenggelam. Kampanye memperlihatkan kekhawatiran, mimpi dan harapan mereka akan masa depan yang lebih baik. Simak juga kisah keempat warga tadi dalam "Di Balik Benteng Laut" yang terbit di Edisi Spesial National Geographic Indonesia edisi November 2015.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR