Saya membayangkan sebuah kehidupan yang rukun antar warga. Tak terlihat banyak persinggungan soal agama di Takengon, Aceh Tengah, Aceh. Masyarakat yang mayoritas memeluk Islam berdampingan dengan penduduk beragama Buddha. Saya mencari tahu, dimana vihara itu berada.
Tak tampak aktivitas ramai di Vihara Budhha Takengon siang itu, 24 Maret 2015. Beberapa jemaatnya barusan berpapasan dengan saya di simpang jalan pintu masuk. Saya melewati sebuah gereja terletak tepat bersisian dengan vihara.
Mulanya saya tidak yakin keberadaan vihara tersebut. Dari luar, vihara terlihat seperti bangunan tua semi permanen beratap seng. Papan kayu berwarna putih tersusun rapi di bagian bagunan sebelah atas. Pagarnya bertembok juga berwarna putih, hampir setinggi badan saya. Pagar itu menyisakan pintu masuk dari besi jeruji.
Saya mulanya membayangkan sebuah vihara beratap naga dengan berbagai ukiran dan bewarna merah tentunya. Tapi semua itu buyar ketika saya dihadapkan pada kenyataan yang sesungguhnya.
Seorang ibu kebetulan sedang membuka gembok pagar. Dia tampak bingung dengan kehadiran saya. Tapi tak hirau dan terus melakukan pekerjaannya.
Rasa ingin tahu membuat saya segera menghampiri ibu tersebut. Ngatiyem namanya, lahir 52 tahun yang lalu. Bu Ngatiyem sudah bekerja membersihkan vihara sejak 24 tahun silam.
Melalui Bu Ngatiyem, saya akhirnya mendapatkan tiket masuk ke dalam vihara. Menurutnya, vihara memang sepi karena kegiatan keagaamaan tidak berlangsung hari itu. Hanya beberapa orang jemaat tadi sempat singgah untuk berdoa.
Saya harus tersesat dua kali sebelum bertemu Bu Ngatiyem. Tak banyak warga Takengon yang tahu dimana lokasi pasti vihara tersebut. Mereka hanya menyebut vihara terletak dipinggir Danau Lut Tawar, di Desa Asir Asir Asia.
Memasuki bagian dalam vihara, saya membuka alas kaki. Terasa sekali lantainya dingin. Saya tengah membayangkan sedang berada diatas air yang membeku di danau-danau dekat kutub utara. Mulanya saya pikir ada pendingin ruangan yang menyala. Bu Ngatiyem hanya tersenyum mengetahui kebodohan saya.
“Mana ada ase (AC) disini,” katanya tergelak.!break!
Saya menghampiri meja abu. Ratusan nama terpajang disana, dirajah diatas kertas kuning emas yang berkilat. Foto orang-orang yang sudah meninggal menempel di tiap kertas itu, tersusun rapi dalam lemari dari kaca.
Suara gemercik air terdengar dari halaman belakang vihara. Tapi pintunya terkunci, mengurung saya untuk terpaksa berada di bagian dalam vihara itu. Di beberapa tempat, saya memperhatikan tempat sembahyang.
“Masing-masing tempat ada doanya,” kata bu Ngatiyem.
Umat Buddha, memanjatkan doa di masing-masing bagian di dalam vihara. Tulisan berhuruf kanji menghiasi di banyak tempat. Bu Ngatiyem menggeleng ketika saya meminta dia menerangkan arti dari tulisan-tulisan tersebut.
Vihara, kata Bu Ngatiyem, banyak didatangi biksu dari berbagai daerah. Terutama dari medan dan kota besar lainnya. Para biksu datang untuk memimpin doa bersama.
“Ini barusan lepas imlek, jadi tak banyak kegiatan lain. Biasanya ramai anak-anak dan orang dewasa datang untuk berdoa,” katanya.
Menurutnya, vihara dibangun sejak tahun 1964. Dulunya ini hanya rumah salah seorang jemaat Buddha berdarah tionghoa. Rumah itu akhirya diserahkan kepada pengurus vihara dan dijadikan tempat ibadah.
“Disini lebih damai. Ndak ada ribut-ribut soal agama. Sebelah aja gereja, di simpang tiga ada mesjid,” imbuhnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR