Matahari pagi terlihat bersejajar dengan kami, saat kami sampai di pegunungan Menoreh pada pukul 07.00 WIB. Sinarnya begitu lembut menyambut kehadiran kami. Burung-burung berkicau meramaikan angkasa, seolah saling memberi semangat satu dan lainnya dalam memulai aktivitas. Tiga gunung besar di pulau Jawa, yaitu Merbabu, Sumbing dan Sindoro menyembul di antara kabut putih.
Ketebalan kabut putih itu tampak seperti ombak yang menenggelamkan daratan hingga yang tersisa hanya sawah yang membentuk susunan tapak siring dan pepohonan yang terletak di dataran yang lebih tinggi. Dari balik kabut putih itu pula, stupa puncak Candi Borobudur yang tampak berwarna hitam muncul di permukaan lautan kabut, perlahan namun pasti.
Itulah pemandangan yang bisa dilihat saat pagi hari ketika kami berada di Puncak Suroloyo, bukit tertinggi di Pegunungan Menoreh yang berada pada 1.600 meter di atas permukaan laut. Menuju puncak Suroloyo kami tempuh dengan jalan kaki kurang lebih 7 kilometer.
Kendaraan kami titipkan di rumah penduduk. Kami melewati rute jalan setapak yang hanya digunakan oleh para petani, pencari rumput, dan kayu bakar. Karena itu, medannya cukup sulit untuk dilewati. Jalan setapak yang licin, tanjakan yang mencapai kemiringan 600, harus kami lalui. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk yang sedang bercocok tanam maupun yang mencari kayu bakar. Mereka tampak ramah, prototype penduduk desa yang penuh dengan keotentikan. Hidupnya jauh dari hingar bingar dunia. Mereka bertekun dengan kesunyian dalam berkarya. Dalam sebuah ladang, kami melihat tanaman cabe sedang berbuah, menunggu dipetik oleh pemiliknya.
Perjalanan menuju puncak Suroloyo ala jungle tracking sungguh melelahkan, namun itu terbayar dengan keindahan pemandangan yang dapat dilihat dalam perjalanannya. Terlebih pada saat sampai di puncak Suroloyo. Tidak hanya itu, tampias keringat dan udara sejuk nan segar menjadikan diri kami merasakan sensasi yang luar biasa. Lelah tapi puas.
Saat sampai di sana saya melihat tiga buah gardu pandang. Gardu-gardu tersebut sudah difasilitasi tangga yang kokoh. Sungguh itu memanjakan orang-orang yang berwisata ke situ. Menurut cerita yang pernah saya baca, gardu pandang tersebut dahulu adalah pertapaan, yang masing-masing bernama Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran.
Tempat ini mempunyai kaitan sejarah dengan Kerajaan Mataram Islam. Dalam Kitab Cabolek yang ditulis Ngabehi Yasadipura pada sekitar abad ke-18 menyebutkan, suatu hari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang kala itu masih bernama Mas Rangsang mendapat wangsit agar berjalan dari Keraton Kotagede ke arah barat. Petunjuk itu pun diikuti hingga dia sampai di puncak Suroloyo. Karena sudah menempuh jarak sekitar 40 km, Mas Rangsang merasa lelah dan tertidur di tempat ini. Pada saat itulah, dia kembali menerima wangsit agar membangun tapa di tempat dia berhenti. Ini dilakukan sebagai syarat agar dia bisa menjadi penguasa yang adil dan bijaksana.
Selain memiliki pemandangan yang mengagumkan, Puncak Suroloyo juga menyimpan mitos. Puncak ini diyakini sebagai kiblat pancering bumi (pusat dari empat penjuru) di tanah Jawa. Masyarakat setempat percaya bahwa puncak ini adalah pertemuan dua garis yang ditarik dari utara ke selatan dan dari arah barat ke timur Pulau Jawa. Dengan kata lain, jika ditarik lurus dari utara ke selatan, serta dari barat ke timur di atas pulau jawa, maka akan bertemu di puncak Suroloyo. Mitos inilah yang menyebabkan pada malam satu satu Sura (1 Muharam) kawasan ini sangat ramai dikunjungi baik penduduk, warga setempat, masyarakat Yogyakarta, maupun dari daerah lain. Mereka kebanyakan melakukan ritual untuk menolak bala yang dipercaya akan datang pada bulan suro.
Puncak Suroloyo terletak di dusun Keceme, Gerbosari, kecamatan Samigaluh, Kulonprogo. Ada dua jalur untuk bisa mencapai tempat ini yakni jalan Godean – Sentolo – Kalibawang (dari arah Yogyakarta dan Puworejo) dan dari jalan Magelang - Pasar Muntilan – Kalibawang (dari arah Semarang).
Di gardu pandang Suroloyo, gardu paling tinggi, kami membuka perbekalan yang kami beli saat di perjalanan, tepatnya di pasar Balangan, Minggir, Sleman. Saat kami menikmati jajanan pasar datang seorang turis dari Prancis. Turis itu bernama Robert, seorang penerjemah Prancis-Inggris. Kami pun mengajaknya untuk bergabung. Turis itu terkesan dengan Naga Sari, salah satu makanan khas jawa yang kami bawa. Enak sekali, ujarnya. Perjamuan makan pun kami tutup dengan minum teh hangat.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR