Nationalgeographic.co.id—Bagi Gus Dur (Abdurrahman Wahid), film yang ideal semestinya menjadi wadah untuk memandang dunia lebih luas dan menggambarkan realita sekitar. Sudah sejak muda ia menikmati film, seperti kabur dari pesantren bersama temannya atau meninggalkan kelas kuliah bersama Gus Mus di Mesir demi menonton film di bioskop.
Hairus Salim, pengasuh pondok pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta sekaligus penulis buku biografi Gus Dur Sang Kosmopolit menerangkan sangat sulit untuk mengetahui film apa saja yang pernah ditonton Gus Dur.
"Kita tahu kalau Gus Dur itu penikmat film yang sangat maniak, tapi sebenarnya datanya enggak terlalu banyak," terangnya dalam diskusi Gus Dur's Humor and Cinema, rangkaian kegiatan Madani Film Festival, Jumat (03/11/2021). "Dalam biografi yang paling otoritatif itu ada bab judulnya Bioskop, Wayang Kulit, dan Cerita Silat."
Tak melulu menjadi pemerhati agama dan politik (aktivis), rupanya Gus Dur juga menaruh perhatiannya pada film. Hal itu dibuktikan dengan tulisannya yang berkomentar tentang film, yakni esai berjudul Film Dakwah Diperlukan Keragaman Wadah dan Kebebasan Utuh untuk disampaikan dalam diskusi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 19 Juli 1982.
Hairus menerangkan, Gus Dur lewat tulisan itu menyebut 28 film dari tahun 1950 hingga 1980-an. Beberapa di antaranya ada Lion on the Desert (1981) yang diproduseri Anthony Quinn, Urban Cowboy (1980) yang dibintangi John Travolta. Ada pula tiga film Indonesia yang dikritik seperti Atheis (1974) yang dibuat Sjumandjaja, Panggilan Tanah Suci (1965), dan Bulan di Atas Kuburan (1974) yang disutradarai Asrul Sani.
Selain itu ada juga esai kedua Gus Dur yang berjudul Film Indonesia antara Sejarah dan Legenda sebagai makalah diskusi Dewan Kesenian Jakarta, 3 September 1984. Esai itu menyebut 11 film seperti Roro Mendut (1982), Kartini (1982), Pengkhianatan G-30-S/PKI (1984), The Man Who Shot Liberty Valance (1962), Damar Wulan (1983), Si Ronda (1978), Sunan Kalijaga (1983), dan Jaka Sembung (1981/1983).
"Dia (Gus Dur) mengkritik Atheis, menurut dia, film yang sebenarnya di novelnya tidak sangat formalistis, ketika difilmkan jadi sangat formalistis. Kemudian di Panggilan Tanah Suci ini sangat formalistis, bagaimana seorang Asrul Sani, yang kata Gus Dur, sangat gemilang seperti Bulan di Atas Kuburan, menjadi sangat formalistis ketika memfilmkan agama," terang Hairus.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR