"Jadi kalau mau saya singkat, film agama itu di Indonesia buat sineas kalau dinamai agama bisa jadi jebakan. Karena kegagalan yang menampilkan nilai yang universal ketika dilabeli agama."
Kritik lainnya pada esai kedua, Gus Dur menanggap filmnya terlalu hitam-putih, terlalu jelas mana yang pahlawan dengan tampilan luar biasa, tetapi lupa dengan detail konteks dan lingkungannya. Seolah, kita mendapatkan tokoh pahlawan yang melegenda, dan sebaliknya legenda yang menjadi tokoh seolah historis. Hairus melanjutkan, film Sunan Kalijaga menurut Gus Dur hanya jadi tayangan kumpulan klenik.
Baca Juga: Maniaknya Gus Dur Terhadap Film di Masa Pesantren dan Kuliah
Inayah Wulandari Wahid, putri dari Gus Dur sekaligus aktris, berpendapat bahwa Gus Dur memang menyukai film yang mengembangkan imajinasi. Sebab dengan imajinasi, akan menimbulkan pemahaman dari penonton seperti Gus Dur untuk menciptakan hal-hal yang bijak.
"Sehingga enggak heran kalau Gus Dur menyukai Akira Kurosawa (pembuat film Jepang)," ungkap Inayah di forum yang sama.
"Saya rasa tidak heran ketika beliau menganggap film Atheis itu yang sebenarnya diambil dari novel menjadi sangat formalistik, bagaimana film agama sangat kaku dan formalistik. Bagaimana film agama bisa muncul dalam berbagai bentuk yang lebih luas dan cair. Saya rasa itu yang jadi pembentuk [cara berpikir Gus Dur]."
Bagaimana dengan film humor? Mengingat Gus Dur suka memunculkan humor, tapi belum diketahui bagaimana pandangannya terhadap film humor. Berdasarkan tulisan-tulisannya, bagi Gus Dur humor adalah hal yang paradoks, dimana kita bisa tertawa pahit melihat kenyataan.
"Maksud saya, kita belum lihat bagaimana Gus Dur melihat film atau humor dalam film itu, tetapi kita mendapat rumusan-rumusan bahwa apa yang disebut sebagai humor itu di antaranya sifat-sifat," lanjut Hairus.
"Jadi, bukan soal gaya pemain [film] yang mengundang orang ketawa, atau setting atau acting membuat tawa, tapi sifat dari kehidupan itu sendiri yang tidak linear, tidak hitam-putih, abu-abu, di situlah humor itu kita dapatkan."
Baca Juga: Riwayat Perayaan Kue Bulan: Dari Dewi Chang'e Sampai Gus Dur
Pandangannya yang humoris juga menempatkan film Barat dinilai sebagai parodi yang sangat religius, karena sangat membuatnya bisa menertawakan realita.
"Kita jadi ingat statement Gus Dur bahwa humoris paling hebati itu adalah kaum sufi. Karena kaum sufit itu yang berani berhadapan atau menentang, menertawakan realitas,atau kemampuan membalik apa yang dinyatakan orang," ungkapnya.
Di dalam pengantar Mati Ketawa ala Rusia (1986), Gus Dur banyak menceritakan humor. Hairus menilai, Gus Dur sebenarnya mendadaptasi humor Rusia, yang dapat disimpulkan bila suatu karya, entah cerpen, novel, dan film, jika gagal disajikan, baginya itulah humor.
"Misalnya, maunya film ini religius tapi tidak religius, jadi dia sebagai film konyol. Hal-hal seperti itu yang dia ungkapkan," lanjutnya.
Keterlibatan Gus Dur dalam dunia film pun membuatnya menjadi juri Festival Film Citra tahun 1984 dan 1985. Dalam festival itu, film yang mendapatkan piala penghargaan adalah Dua Tanda Mata, Kerikil-kerikil Tajam, dan Tinggal Landas buat Kekasih. Tandanya, Hairus menyimpulkan, Gus Dur punya peran penting dalam pemberian penghargaan.
Tentunya, festival itu memberikan penghargaan pada karya pada tahun-tahun sebelumnya. Banyak sekali film yang diproduksi masa itu yang bernuansa 'Islami' seperti Sembilan Wali dan Sunan Kalijaga. Hairus curiga, karena pandangan Gus Dur yang mengkritik formalitas dan gambaran hitam-putih pada film, bisa jadi Gus Dur punya peran menyingkirkan film-film seperti ini.
Baca Juga: Mengintip Academy Museum of Motion Pictures, Luar Biasa Canggih
"Tapi ini baru dugaan. Hipotesis. Perlu dibuktikan," simpulnya.
Selain menjadi juri, Gus Dur juga menjadi bagian dari Badan Sensor Film (BSF), meski uraiannya lengkapnya masih minim untuk diungkap. Keterlibatan Gus Dur dalam perfilman sebenarnya adalah hal yang kontroversial pada masanya, lantaran film, khususnya bioskop, adalah hal yang terlarang oleh kalangan agama. Terlebih, Gus Dur berasal dari keluarga kyai.
"Jadi gini, saya itu ada di pesantren di tahun-tahun film itu keluar, kan nonton film enggak boleh. Kalau film Sunan Kalijaga itu muncul, kita boleh," kenang Hairus.
Tak kalah kontroversial pula, Kyai Yusuf Hasyim, paman Gus Dur dan pimpinan pondok pesantren Tebu Ireng sempat beradu akting di film Sembilan Wali (1985). Saat itu juga Gus Dur sedang menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 1982-1985.
Gus Dur dikritik oleh Yayasan Syamsul Arifin, "kyai kok jadi pimpinan ketoprak", urai Hairus. Kemudian Gus Dur menimpalinya dengan "Lah, sekarang pemain ketopraknya paman saya, Pak Kyai."
Baca Juga: Ingin Tahu Alasan Gus Dur Dinobatkan Sebagai Bapak Tionghoa Indonesia?
Perdebatan Sengit Peneliti tentang Benarkah Orang-Orang di Zona Biru Hidup Lebih Lama
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR