Nationalgeographic.co.id—Hiruk pikuk politik nasional semakin tak karuan, Gie sekali lagi lari dengan membawa keresahannya pada semesta, puncak gunung yang menawarinya pesona yang menawan. Melupakan sejenak masalah yang menjemukan.
Gie (paggilan Soe Hok Gie) hidup dalam dilematika politik yang menjerumuskannya pada pendakian, kegemarannya dalam memeluk keindahan semesta lewat pendakian ke gunung-gunung yang memesona di Jawa.
Soe Hok Gie merupakan tokoh mahasiswa yang aktif menyuarakan hak-hak rakyat. Ia juga aktif dalam pers dan organisasi pergerakan kemahasiswaan. Ia juga banyak menuangkan pemikirannya ke dalam buku-bukunya.
Melalui pemikiran yang kritis, ia kerap kali merasa dikecewakan oleh rezim yang saat itu tengah berkuasa. Entah itu ekonomi, entah itu politik, sekali lagi ia merasa kecewa. Mendaki gunung menjadi tempatnya berkeluh kesah dari penatnya kehidupan berpolitik.
Soe Hok Gie menjadikan pergumulannya, sejumlah mahasiswa yang senang mendaki sebagai organisasi non-politis, sebagai sarana rekreasi dan melepas penatnya melalui kesamaan kesenangan, mendaki gunung.
Baca Juga: Gunung Terlalu Ramai, Bagaimana Caranya Mendaki dengan Tenang?
Gie dianggap sebagai pelopor munculnya organisasi mahasiswa pecinta alam atau yang lebih akrab dengan sebutan Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam). Sejak saat itu, sampai hari ini, mapala berkembang pesat di hampir setiap kampus di Indonesia.
Sebagaimana dilansir dari laman resmi Mapala Universitas Indonesia, bahwa ide pembentukan organisasi pelopor pecinta alam di kampus Universitas Indonesia, dicetuskan oleh Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa terkemuka.
Halaman berikutnya...
"Jenuh dengan situasi yang penuh intrik dan konflik politik di kalangan mahasiswa waktu itu, Gie mengusulkan untuk membentuk suatu organisasi yang bisa menjadi wadah berkumpulnya berbagai kelompok mahasiswa," tulis Mapala UI dalam lamannya.
Minatnya yang besar terhadap petualangan, ia curahkan di samping kegiatannya menulis dan mengkritik pemerintahan. Ia juga gemar menghabiskan waktunya untuk berkelana keliling daerah bersama dengan teman-teman kampusnya.
Selain naik gunung, Gie dan rekan-rekannya gemar menjelajah dan berekreasi. Seperti yang mereka lakukan di bulan Juli 1969, selama beberapa hari mereka pergi dari Jakarta ke Yogyakarta untuk berlibur.
"Yogyakarta adalah bagian dari keindahan, saya dan teman-teman sekadar melepas penat dan melebur dengan keramaian kota," tulis Gie dalam catatan perjalanan hidupnya.
Ia menulis biografi perjalanan hidupnya dan beberapa catatan ulasan dari 18 Pers dalam buku berjudul Catatan Sang Demonstran, yang diterbitkan pada tahun 1983.
Tulisan Gie dalam Catatan Sang Demonstran, di dalamnya ditambahkan sejumlah kutipan pers, mulai dari Kompas, Hai, Fokus, Optimis, dan beberapa catatan pers lainnya, yang kemudian diterbitkan oleh LP3S.
Tulisannya banyak mengulas agenda-agenda perjalanan yang rekreatif disamping sejumlah pemikiran, kritik, dan demonstrasi. Mulai dari gunung-gunung di Jawa Barat hingga Jawa Timur, sudah ia jelajahi bersama mahasiswa pecinta alam lainnya.
Perjalanan Gie juga tak luput dari gunung Semeru, puncaknya Mahameru yang menjadi saksi seorang Gie dalam petualangannya mendaki gunung-gunung yang indah di Indonesia.
Halaman berikutnya...
Bersama dengan rekan-rekan terdekatnya, berlibur adalah cara merekatkan satu dengan lainnya, membantunya menelaah banyak hal dari perjalanannya mendaki ke tempat-tempat yang tinggi dan memancarkan keindahan semesta.
Sampai pada akhirnya Semeru mendekapnya di kedinginan. Waktu itu bulan Desember 1969, cuaca dingin menyelimuti seluruh tubuh gunung dan desa-desa di sekelilingnya.
"Tepat di ulang tahunnya yang ke-27 tahun, udara dingin tak menjadi masalah bagi pemuda berperawakan kecil untuk mendaki Semeru," tulis Syamsudin NM., kepada Hai, pada bulan Agustus 1983.
"Semuanya sudah digariskan, pemuda berperawakan kecil itu telah dipanggil-Nya. ia tiada (meninggal dunia), gas beracun di pucuk gunung Semeru menjebaknya," lanjut Syamsudin dalam memoarnya.
Ia dinyatakan tewas di usianya ke-27 tahun dalam dekapan dinginnya Semeru. Banyak sumber mengisahkan kematiannya terjadi akibat gas beracun yang dikeluarkan puncak Mahameru. Meski telah tiada, Gie tetap dikenang dalam sejarah.
Baca Juga: Letusan Gunung Semeru Sulit Diprediksi karena Dipicu Faktor Eksternal
Diantara sekian banyak gunung, Semeru jadi pendakian terakhirnya. Mencintai alam dan Gie telah kembali kepadanya, meninggalkan dunia di tengah semesta alam yang ia kagumi dalam catatan perjalanan pendakian semasa hidupnya.
"Gie adalah sosok yang selalu memikirkan Indonesia, tidak hanya karena alamnya yang indah, tetapi juga rakyatnya," ulas Hidayat Sudanarti kepada Optimis dalam tulisan Gie, pada tahun 1983.
KOMENTAR