Nationalgeographic.co.id—Pada permulaan 1661, tepatnya 24 Juli 1661, seorang bernama Patra dari Demak menggunakan konting, menyampaikan kabar tentang dibukanya kembali loji-loji perdagangan yang sempat tutup sekian lama.
Masa-masa sebelumnya, loji-loji di kota pelabuhan telah ditutup oleh para penguasa pesisir. Berita ini lantas terdengar hingga para kompeni, menganggap berita yang cukup penting dan serius.
Para kompeni Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) kemudian membuat laporan khusus ke Kerajaan Belanda di Amsterdam pada 29 Juli 1661.
Penutupan loji agaknya membuat penurunan drastis dalam sisi perekonomian kota-kota pelabuhan, utamanya di pesisir Jawa. Kekuasaan besar Sunan di Jawa, berada dalam kendali Sunan Mangkurat atau Amangkurat I, seorang sunan dari Mataram (Islam).
H.J. De Graaf dalam bukunya berjudul Disintegrasi Mataram di bawah Mangkurat I, diterjemahkan oleh Pustaka Grafitipers pada tahun 1987. Ia menyebut tentang upaya pembukaan kembali loji di Kota Jepara yang dapat menggairahkan perekonomian pelabuhan, khususnya menarik para kompeni bermukim lagi disana.
"Dengan demikian (dibukanya kembali loji-loji di kota pelabuhan), penguasa pesisir (termasuk Sunan) rupanya telah mempersiapkan terjalinnya kembali hubungan baik (dengan VOC), yang juga akan memberi keuntungan bagi dirinya sendiri (termasuk Sunan dan Mataram)," tulis De Graaf.
Sunan menyadari telah terjadi kesalahpahaman pada saat terjadinya penutupan loji di masa lampau. "Raja menjadi keheranan mendengar bahwa semua orang asing telah diusir dari kerajaannya," tambahnya.
Penutupan loji ternyata sangat berpengaruh bagi perdagangan maritim di pesisir Jawa, lebih lagi Belanda yang memberi keuntungan bagi penjualan komoditas ke Eropa.
Konon, De Graaf menyebut bahwa Kiai Wirajaya yang menjadi dalang di balik pengusiran VOC dari loji-loji dagangnya.
"Seketika Sunan memerintahkan kepada para Tumenggung untuk menyeretnya (Kiai Wirajaya), dibawa ke pasar atau lapangan pasar di depan istana, diikat pada tiang," lanjutnya. Wirajaya dijemur di bawah terik matahari selama dua hari akibat perbuatannya.
Sesegeranya Sunan Amangkurat I memerintahkan kepada bawahannya untuk mengabarkan kepada Belanda, agar kembali mengisi loji-loji yang telah lama ditinggalkan. Kurang lebih dua tahun berselang, Residen Jepara menjadi Belanda pertama yang mengisi loji tersebut.
David Luton, seorang Residen di Jepara, ditugaskan oleh Sunan untuk mengisi loji dan bekerja untuk Jepara. Luton juga diutus sekaligus untuk menilik kelayakan loji yang telah ditinggalkan puluhan tahun lamanya.
Menurutnya, loji dalam kondisi rusak parah dan membutuhkan sejumlah perbaikan. Pada 4 April 1662, berkat perbaikan loji dari pihak Mataram, Luton mulai mendiami loji kosong itu.
Nampaknya Luton belum paham betul dengan keputusan Sunan memaksanya untuk tinggal di loji, membuatnya bertahan untuk tidur berhari-hari di sebuah kapal yang bersandar di dermaga.
Baca Juga: Selisik Makam Kapten Tack, Perwira VOC Abad Ke-17
"Ngabei Martanata menegaskan kepada Luton untuk segera menempati loji, mungkin Sunan akan murka jika loji itu sampai ambruk karena tak juga ditinggali," imbuh De Graaf.
Jelas, kekhawatiran Luton muncul akibat desas-desus penguasa pesisir Jawa (saudagar lokal atau para raja yang menguasai kota-kota pelabuhan), tak menginginkan kehadiran Belanda di daratan Jawa.
Namun, perintah Sunan tetap dilakukan Luton, ia mulai mendiami loji yang tetap terlihat bobrok karena belum sepenuhnya diperbaiki.
Berkat perintah Sunan pula, Residen diwajibkan mengirim utusan untuk menempati loji-loji di pesisir Jepara, hingga berjumlah sepuluh orang (kompeni VOC) tinggal disana.
Baca Juga: Selidik Untung Suropati: Dari Budak VOC Sampai Pahlawan Pasuruan
Meski begitu, para kompeni juga dilarang menurunkan dan menempatkan meriam mereka di loji-loji yang telah disediakan raja Mataram.
Pada 17 Agustus 1663, muncul seorang Kartijaya, ditugaskan sebagai bupati Jepara oleh Sunan Amangkurat I untuk mengawasi loji-loji yang diisi oleh Belanda.
Kartijaya menemukan bahwa Luton ternyata tak tinggal di loji yang disediakan oleh Sunan. Ia lebih memilih membeli rumah milik seorang Cina di Jepara.
Residen Luton menjelaskan alasannya, terkait ketakutannya dengan para syahbandar Jepara. Ia meminta waktu untuk memagari loji, takut sewaktu-waktu diserang. Namun, Kartijaya menolak memberi waktu, dan meminta secepatnya kembali ke loji.
Baca Juga: Telisik Istilah 'Duit' yang Populer Sejak Zaman VOC di Nusantara
Memasuki bulan September 1663, Luton agaknya memahami tentang alasan Sunan memaksa orang-orang Belanda untuk segera mengisi loji-loji di kota pelabuhan, lebih khusus Jepara.
Luton diminta setiap tahunnya untuk mengirimkan legasi yang terhormat (pihak Belanda atau dari kalangan Kompeni VOC) untuk mengisi loji-loji yang masih kosong.
"Rupanya legasi yang terhormat (Belanda yang dimaksud Sunan), rupanya hanya akan digunakan untuk menaikkan nama dan wibawa Sunan di mata bangsa-bangsa tetangganya, serta mau memperlihatkan ketundukan bangsa Belanda kepada Jawa," ungkap De Graaf.
Bagaimanapun, sikap Sunan Amangkurat I dapat memberikan ketenangan dalam Keraton di tahun-tahun 1663 hingga 1664. Di satu sisi karena ekonomi Mataram yang kembali pulih, di sisi lain karena hubungan baiknya dengan pihak Belanda.
"Orang-orang Belanda di Jepara juga mengalami masa tenang, kala itu, Jepara dikuasai para penguasa (pesisir Jepara) yang bersahabat dengan mereka," pungkasnya.
Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
Source | : | Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I (De Graaf) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR