Nationalgeographic.co.id—“Ini nisannya Pieter Janse van Hoorn,” ujar Lilie Suratminto kepada kami sembari menunjuk batu nisan berhias ukiran aneka lambang heraldik. Bertumpu pada prasasti di nisan tadi dia berujar, “Bersamanya dimakamkan istri dan kedua anaknya, juga Tack yang tewas di Kartasura.”
Lilie, lelaki ramah dengan kumis rapinya, merupakan pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Dia pernah melakukan penelitian untuk disertasinya tentang komunitas Kristen di Batavia masa VOC yang dilihat dari batu nisannya.
Tampak lambang heraldik keluarga Pieter Janse van Hoorn yang terukir megah di nisannya. Berbagai ikon melambangkan nama keluarga, profesi, atau asal-usul pemilik lambang. Dari ukiran nisan para pejabat VOC inilah terungkap wibawa mereka. Prasasti pada nisan-nisan VOC dapat merekonstruksi kehidupan sosio-historis warga Batavia.
Pada suatu pagi nan cerah, Lilie bersama kami mengunjungi Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat. Museum terbuka ini bekas sehamparan tanah permakaman Kristen yang mulai digunakan sejak 1795 hingga 1976. Dahulu dikenal sebagai Kebonjahe Kober.
Hari itu, di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn, kami menyelisik 28 baris prasasti berbahasa Belanda lama. Berikut ini kutipan tiga baris yang menarik karena berkait dengan Sang Kapten:
“D[en] H[eer] F[rançois] TACK UYT DEN HAAGH GEB[oren] 1649 28 M[...]Y [...] C[...]R[...]SOERA [...] FEB 1686.”
Beberapa patah kata dalam kutipan prasasti itu hilang karena ditimpa sebuah ukiran “HK No.26” yang dibuat pada saat proses pemindahan makam dari Hollandsche Kerk (HK) ke Kebonjahe pada awal abad ke-19. Lilie mencoba menerjemahkan dari rangkaian huruf yang tersisa, “Tuan François Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8 Februari 1686.”
Saat ini terdapat dua pendapat tentang keberadaan makam Tack. Ada yang mengatakan bahwa Tack dimakamkan di Benteng Jepara, sementara pendapat lain meyakini bahwa raga Sang Kapten itu bersemayam di Batavia.
“Untuk membawa jenazah François Tack ke Batavia tentu terlalu jauh,” ungkap Lilie pada kesempatan lain. “VOC kemudian memutuskan untuk memakamkannya di loji—benteng—kompeni di Jepara.” Namun demikian, menurut Lilie, diduga pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709) jenazah Tack dipindahkan dari Jepara untuk dimakamkan kembali ke Batavia. Buktinya, nama Tack terukir di sebuah nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn di Batavia.
Tampaknya, penjelasan Lilie telah mengakurkan dua pendapat tentang lokasi sejati makam Tack: Sang Kapten pernah dimakamkan di Benteng Jepara, kemudian dipindahkan ke Batavia. Di Benteng Jepara tinggalan Portugis itu VOC telah membangun cabang kantor dagangnya untuk kawasan Mataram yang perawatannya dibebankan kepada Keraton Kartasura.
Mengapa Lilie menduga pemindahan makam itu terjadi tatkala Joan van Hoorn berkuasa sebagai gubernur jenderal?
Sang Gubernur Jenderal, menurut pendapat Lilie, ingin menunjukkan kepada masyarakat tentang kepahlawanan Tack, saudara ipar laki-lakinya. Dengan demikian, menurutnya, Tack sudah sepantasnya dimakamkan secara terhormat di dalam Kruiskerk atau \'Gereja Salib\' bersama keluarga orang tua Sang Gubernur Jenderal, Pieter Janse van Hoorn.
Peristiwa pemakaman ini ibarat politik pencitraan yang akan menaikkan pamor Sang Gubernur Jenderal, demikian menurut dugaan Lilie. Kelak, gereja itu pada awal abad ke-18 menjadi Hollandsche Kerk—bekas lahannya kini menjadi Museum Wayang.
“Pemakaman kembali dari Jepara ke Batavia itu biayanya sangat mahal,” ujarnya. Andai kata Tack bukan seorang adik ipar Sang Gubernur Jenderal, barangkali jasadnya tetap abadi di Benteng Jepara. Kalaupun dipindah ke Batavia —sebagai seorang yang hanya berpangkat kapten —mungkin makamnya berlokasi di halaman gereja, bukan di dalam lantai gereja.
Sekilas misi terakhir Kapten Tack. Pada akhir 1685, Tack dikirim dari Batavia ke Keraton Kartasura, Jawa Tengah, karena memanasnya perlawanan pemberontak Bali terhadap VOC. Sang dedengkot pemberontakan itu adalah Untung Surapati. Malangnya, pada 8 Februari 1686, dia dan pasukannya terjebak dalam kemelut pertempuran di sekitar Keraton Kartasura. Laskar Surapati pun berhasil membinasakan mereka. Tack tewas secara mengenaskan dengan 20 luka di sekujur tubuh.
Lalu siapakah sosok terhormat mertua Tack yang bernama Pieter Janse van Hoorn?
Awalnya, Pieter merupakan seorang pedagang mesiu di Batavia namun bangkrut. Kemudian, kembali lagi ke Batavia dan menjabat sebagai penasihat pajak, dewan kota Batavia, dan sederet jabatan bergengsi lainnya. Konon, dia bisa kembali ke Batavia lantaran sang istri, Sara Bessels, yang dikenal dekat dengan para pejabat VOC papan atas.
Nisan keluarga yang kami saksikan tersebut terbuat dari batu gunung atau blauwsteen, yang umumnya dipesan dari pantai selatan India. Prasasti pada nisan menunjukkan bahwa Tack dimakamkan bersama empat jenazah keluarga mertuanya.
Pieter Janse, sang ayah mertua, wafat pada Januari 1682, sedangkan Sara, sang ibu mertua, wafat pada Juli 1686. Di tempat yang sama dimakamkan pula Pieter van Hoorn de Jonge, anak lelaki sulung, dan Catharina van Hoorn de Jonge, putri bungsu mereka. Masing-masing wafat pada November 1680 dan Mei 1683.
Batu nisan juga merupakan ‘arsip penduduk’ masa lampau, demikian menurut Lilie, karena dari prasasti pada batu nisan itu kita dapat merekonstruksi struktur sosial dan budaya suatu masyarakat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR