Nationalgeographic.co.id—Situs kapal karam bersejarah menjajaki posisi penting di sumber daya arkeologi maritim. Rupanya tertutup terumbu karang tapi eksotismenya benderang di dasar lautan. Itu yang menjadikannya potensial sebagai ekonomi biru nonkonvensional.
Di bagian utara Jakarta, di gugusan Kepulauan Seribu, para peneliti menyelam ke dasar lautan untuk melihat raksasa-raksasa yang tenggelam ini. Bersama catatan sejarah bahari Nusantara selama berabad-abad, para peneliti merekomendasikan empat titik kawasan potensi situs kapal karam yang dapat direkomendasikan sebagai daya tarik ekowisata bahari dengan model Marine Eco Archaeological Park (MEA Park).
Penelitian ini bertajuk Study of the Historic Shipwreck Sites Area Development for Marine Ecotourism in Thousand Islands. Tim risetnya terdiri atas peneliti dari Pusat Riset Kelautan dan Balai Riset Budidaya Ikan Hias, keduanya badan di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Republik Indonesia; dan peneliti dari Griffith Center for Social and Cultural Research, Griffith University, Australia.
Area ini meliputi bangkai kapal Tabularasa di perairan Pulau Pramuka, bangkai Posso di Karang Congkak, dan bangkai kapal Papatheo di perairan Pulau Sepa.
Bangkai Kapal Tabularasa
Lokasi bangkai kapal Tabularasa merupakan kapal latih STP (Sekolah Tinggi Pariwisata) yang tenggelam di perairan Pramuka pada 1995. Penyebab tenggelamnya adalah kerusakan pada bagian badan kapal ruang mesin. Masa karam Tabularasa masih di bawah 50 tahun dengan nilai sejarah nasional maritim. Posisinya terletak di kedalaman kolom air 27-35 meter, cukup ideal sebagai tempat penyelam dan relatif aman untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata bahari dengan taman arkeologi bawah laut. Morfologi dasar lautnya relatif datar dan sedikit landai dari beberapa area situs. Posisi lokasi kapal karam masih relatif datar, stabil, dan landai. Ini akan mendukung penyelamatan keselamatan untuk advance divers.
Source | : | Study of the Historic Shipwreck Sites Area Development for M |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR