Tepat 8 Februari 2016, Tahun Kambing Kayu yang tenang akan digantikan oleh Tahun Monyet Api yang lincah. Warga Tionghoa di Tanah Air, di Tiongkok, dan di berbagai penjuru dunia bersiap-siap menyambut tahun baru, Tahun Monyet Api yang optimistis.
Monyet diasosiasikan sebagai hewan yang memiliki sifat cerdas, ceria, kreatif, dan aktif bergerak, tetapi terkadang culas dan licik. Karena itu, monyet sering dianggap sebagai hewan yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan dan dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompok.
Itu sebabnya, ada harapan berbagai masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dialami bangsa ini bisa diselesaikan pada Tahun Monyet Api ini. Budaya Tionghoa sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Suasana keriuhan tahun baru Imlek juga mulai terasa di beberapa wilayah di Indonesia.
Di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (4/2/2016), diselenggarakan Pasar Imlek Semawis. Di pasar ini dimunculkan sajian terkenal di Guangdong, Tiongkok, yakni ayam garam (pesak) dengan tema ”Tuk Panjang, Sedepa Jadi Sehasta”.
”Pada pembukaan Pasar Imlek Semawis ini, kami menggelar makan besar bersama-sama warga, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintah. Sajian makan bersama ini diberi nama Tuk Panjang atau meja panjang,” kata Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) Harjanto Halim di Semarang, Rabu (3/2/2016).
Gelar Tuk Panjang merupakan perluasan dari makna keberagaman. Menurut Harjanto, warga lokal dengan warga Tionghoa di kawasan Pecinan Semarang sudah saling mengenal dan saling membantu selama ini. Kebersamaan itulah yang menjadi roh setiap kali kegiatan menyambut Imlek.
Dengan adanya Gelar Tuk Panjang, makan bersama tiga elemen, yakni warga, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintah, mereka bisa saling mengenal, saling akrab, dan hubungan yang berjarak bisa mencair.
Seperti pepatah, ”Sedepa jadi sehasta”, warga yang kurang dikenal tokoh masyarakat bisa saling berbaur, kemudian pejabat pemerintah yang sulit dikenali warga mau turun untuk makan bersama warganya
Tuk Panjang digelar pada hari Kamis sekitar pukul 18.00 di sepanjang Gang Pinggir hingga Gang Wotgandul Timur. Disiapkan meja sepanjang 90 meter dan lebar 0,8 meter.
Sajian menu yang tersedia dimsum halal, terdiri dari udang, bakpao ayam, serta siomay ayam udang. Lalu ada lunpia, sup, tidak ketinggalan cah rebung, sambal goreng, kue keranjang, wedang tahu, dan es kelengkeng.
Harjanto mengatakan, Gelar Tuk Panjang menjadi spirit baru keberagaman di Kota Semarang. Tradisi makan besar bersama ini merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang sudah lama tenggelam. Mulai tahun ini, tradisi ini mulai diperkenalkan kembali kepada masyarakat.
”Tujuannya, makan bersama bukti semua warga, dari etnis apa pun dan latar belakang agama apa pun, menjadi keluarga besar, tidak hanya keluarga Pecinan, tetapi juga keluarga besar Semarang, keluarga Indonesia yang makin damai dan sejahtera bersama,” papar Harjanto.
Juga akan digelar berbagai pertunjukan kesenian dan kegiatan budaya Tionghoa, seperti atraksi barongsai, wayang potehi klasik khas Tiongkok, penampilan musik Lam Kwan, peragaan wushu, permainan catur gajah, seni menulis huruf Mandarin, dan berfoto dengan busana berbagai karakter dewa dewi.
!break!Sangat sederhana
Tidak semua warga Tionghoa merayakan Imlek dengan meriah dan besar-besaran. Di Pontianak, Kalimantan Barat, Atiu (60), penjual rujak buah dan manisan keturunan Tionghoa, merayakan tahun baru Imlek secara sangat sederhana bersama anak dan cucunya di rumahnya.
Walaupun miskin, ia dan keluarganya tetap menyambut Imlek dengan rasa syukur dan saling meneguhkan. ”Kami tidak berharap yang muluk-muluk. Kami hanya meminta kepada Tuhan agar selalu diberikan kesehatan hingga bisa tetap bekerja dan berkumpul bersama keluarga,” papar Atiu.
Pada saat Imlek, Atiu pergi beribadah bersama keluarganya. Setelah itu, ia makan bersama keluarga dengan menu yang sederhana, lalu mengunjungi kerabat. Sama seperti Atiu, Soi Hwe (50), buruh harian di Pontianak, merayakan tahun baru Imlek secara sangat sederhana. Bisa berkumpul bersama keluarga di hari spesial itu merupakan anugerah dari Tuhan.
”Imlek menjadi momen untuk saling menguatkan di dalam keluarga untuk menapaki hari-hari selanjutnya dengan optimistis.” ujar Soi Hwe
Keadaan yang hampir sama dialami A Futjai (68) yang bekerja sebagai tukang memperbaiki payung di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Ia tinggal bersama istri dan seorang anak di rumah yang berukuran 15 meter persegi di pusat keramaian kota Belitung.
Rumah-rumah di sekitarnya telah dihiasi lampion dan pernak-pernik berwarna merah. ”Saya tidak menghias rumah. Uangnya lebih baik dipakai untuk membeli makanan,” kata Futjai.
Futjai tidak menyiapkan apa pun untuk menyambut Imlek. Sudah bertahun-tahun ia tidak merasakan jamuan Imlek. Tidak ada yang mengundangnya.
”Saudara-saudara saya hampir sama dengan saya. Masak seadanya saja, seperti hari-hari biasa. Tidak ada masak-masak atau makan ramai-ramai,” ujarnya.
Futjai berharap akan ada bazar, atau bahkan acara amal, di depan rumahnya menjelang Imlek sehingga ia kebagian makanan enak gratisan. Namun, hingga tiga hari menjelang Imlek, tidak ada tanda-tanda akan ada bazar atau acara amal di dekat rumahnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR