Sangat sederhana
Tidak semua warga Tionghoa merayakan Imlek dengan meriah dan besar-besaran. Di Pontianak, Kalimantan Barat, Atiu (60), penjual rujak buah dan manisan keturunan Tionghoa, merayakan tahun baru Imlek secara sangat sederhana bersama anak dan cucunya di rumahnya.
Walaupun miskin, ia dan keluarganya tetap menyambut Imlek dengan rasa syukur dan saling meneguhkan. ”Kami tidak berharap yang muluk-muluk. Kami hanya meminta kepada Tuhan agar selalu diberikan kesehatan hingga bisa tetap bekerja dan berkumpul bersama keluarga,” papar Atiu.
Pada saat Imlek, Atiu pergi beribadah bersama keluarganya. Setelah itu, ia makan bersama keluarga dengan menu yang sederhana, lalu mengunjungi kerabat. Sama seperti Atiu, Soi Hwe (50), buruh harian di Pontianak, merayakan tahun baru Imlek secara sangat sederhana. Bisa berkumpul bersama keluarga di hari spesial itu merupakan anugerah dari Tuhan.
”Imlek menjadi momen untuk saling menguatkan di dalam keluarga untuk menapaki hari-hari selanjutnya dengan optimistis.” ujar Soi Hwe
Keadaan yang hampir sama dialami A Futjai (68) yang bekerja sebagai tukang memperbaiki payung di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Ia tinggal bersama istri dan seorang anak di rumah yang berukuran 15 meter persegi di pusat keramaian kota Belitung.
Rumah-rumah di sekitarnya telah dihiasi lampion dan pernak-pernik berwarna merah. ”Saya tidak menghias rumah. Uangnya lebih baik dipakai untuk membeli makanan,” kata Futjai.
Futjai tidak menyiapkan apa pun untuk menyambut Imlek. Sudah bertahun-tahun ia tidak merasakan jamuan Imlek. Tidak ada yang mengundangnya.
”Saudara-saudara saya hampir sama dengan saya. Masak seadanya saja, seperti hari-hari biasa. Tidak ada masak-masak atau makan ramai-ramai,” ujarnya.
Futjai berharap akan ada bazar, atau bahkan acara amal, di depan rumahnya menjelang Imlek sehingga ia kebagian makanan enak gratisan. Namun, hingga tiga hari menjelang Imlek, tidak ada tanda-tanda akan ada bazar atau acara amal di dekat rumahnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR