Masyarakat setempat menuturkan, di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, 40 kilometer utara kota Ciamis, Jawa Barat, pernah berdiri Kerajaan Panjalu pada abad ke-8.
Salah satu rajanya, Prabu Syang Hyang Borosngora, meninggalkan banyak kearifan lokal dalam bentuk siloka atau petuah. Peninggalan itu kini dipelihara, antara lain, oleh Ganda Suganda atau Mang Ganda.
Salah satu kearifan lokal yang dilestarikan keturunan Panjalu adalah upacara Nyangku, yakni membersihkan benda-benda peninggalan raja-raja Panjalu. Ritual adat ini digelar setiap bulan Maulud tahun Hijriah.
Tradisi ini juga mempertahankan siloka tentang pelestarian Situ Lengkong seluas 67 hektar, yang diyakini merupakan bekas keraton Panjalu.
”Yang bertugas mengisi seni tradisi dan menata artistiknya adalah Mang Ganda beserta Komunitas Anak Ibu (KAI) Panjalu,” ujar Dedi Koesmana, Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis.
Mang Ganda adalah panggilan akrab Ganda Suganda (58), seniman pelukis siluet sekaligus pendiri dan pembina KAI Panjalu.
Dalam tradisi Nyangku, masyarakat membersihkan benda-benda pusaka berusia ratusan tahun, seperti pedang milik Syang Hyang Borosngora, senjata cis, kujang, dan keris komando.
Air untuk bersih-bersih itu harus diambil dari tujuh sumur, yakni mata air Situ Lengkong, Karantenan, Kapunduhan, Cipanjalu, Kubangkelong, Pasanggrahan, dan Kulah Bombang. Ketujuh mata air di kawasan Desa Panjalu itu berada pada ketinggian rata-rata 700 meter di atas permukaan laut.
Ritual pengambilan air itu merupakan siloka atau simbol bahwa ketujuh sumber air harus dipelihara karena merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Situ Lengkong menjadi tempat wisata ziarah yang ramai sekaligus sumber pengairan bagi ribuan hektar sawah di kawasan itu.
”Ritual ini memberikan keuntungan bagi perekonomian setempat. Begitu juga Situ Lengkong yang merupakan obyek wisata ziarah,” ujar Bupati Ciamis Iing Syam Arifin, awal Januari 2016.
Mang Ganda bertugas menata ritual adat Nyangku setahun sekali. Dalam keseharian, dia juga berusaha menjalankan siloka-siloka peninggalan leluhur, terutama yang tertuang dalam Papagon Kapanjaluan.
Papagon itu, antara lain, berbunyi: mangan karna halal, pake karna suci, tekad-ucap-lampah-sabeuneureu. Artinya, makanlah dengan makanan yang halal, yakni bersih dari cara memperolehnya dan bersih dari segi kesehatannya.
Masyarakat adat berusaha mengamalkan siloka secara utuh. Mereka mengenakan pakaian bersih, menjaga kejernihan hati, pikiran, tutur kata, dan perilaku. Perilaku harus teguh di jalan yang benar, sesuai ajaran agama.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR