‘Nenek Sihir’
Barriga termasuk dalam kelompok yang sebelumnya pergi ke Ghana untuk mendokumentasikan kondisi-kondisi di "kamp-kamp doa" yang dimiliki oleh lembaga swasta Kristen penginjil dan dikelola oleh "para nabi.
"Inilah tempat-tempat di mana orang-orang berdoa atau mencari ketenangan dalam waktu sulit," ujar Barriga. “Kematian dalam keluarga, hilang pekerjaan, diagnosis penyakit serius."
Kamp-kamp ini juga memiliki tempat tersendiri untuk orang-orang dengan disabilitas mental yang dibawa paksa dan kemudian ditelantarkan, terkadang selama bertahun-tahun, seperti dirinci dalam laporan HRW 2012. Barriga menggambarkan seorang pria yang dirantai ke pohon selama lima tahun dan ia "buang air kecil, buang air besar, dalam radius 90 sentimeter."
Dalam wawancara dengan kepala kamp semacam itu, Barriga mendengar seorang anak menangis dan ia bertanya siapa itu.
“Oh, itu nenek sihir," kata pria tersebut. Barriga meminta bertemu dengan anak itu. Pria itu membawa Barriga ke tempat seorang anak perempuan berusia lima tahun dirantai ke batang pohon.
"Ia mengatakan bahwa 95 persen nenek sihir adalah anak-anak perempuan," ujar Barriga. "Jadi saya tanya, apakah ada nenek-nenek sihir lain di kamp ini? Ia menunjuk ke sekelompok anak perempuan, usianya berkisar dari lima sampai 11 tahun, dan mengatakan, \'Ia nenek sihir, ia nenek sihir, ia nenek sihir\'."
Pelanggaran Banyak Traktat
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi Hak Penyandang Cacat pada akhir 2006, yang menyerukan negara-negara untuk mempromosikan, melindungi dan menjamin hak dan kebebasan penuh semua orang dengan disabilitas jangka panjang -- fisik, mental, intelektual atau sensorik.
Lebih dari 160 negara telah menandatangani traktat tersebut, yang hanyalah satu dari sejumlah traktat dan konvensi yang berlaku dalam kasus-kasus semacam itu. Pembelengguan dan penyiksaan lainnya terhadap mereka yang sakit mental tidak saja melanggar traktat tersebut, tapi juga Konvensi PBB Melawan Penyiksaan dan Konvensi Hak-hak Anak, kata Barriga.
Indonesia melarang pemasungan hampir 40 tahun yang lalu, tapi jelas pemerintah kurang melakukan upaya untuk menjamin penghapusan praktik tersebut, ujar Barriga.
HRW menyerukan Indonesia untuk menegakkan larangan itu dengan mengawasi lembaga-lembaga yang melakukannya dan bekerja untuk mengubah perilaku terhadap penyakit mental di tingkat komunitas.
"Dalam jangka panjang, kami mendesak pemerintah Indonesia dan pemerintah di seluruh dunia untuk bergeser dari secara otomatis mengirim orang-orang ke lembaga-lembaga dan rumah sakit jiwa, ke sistem perawatan kesehatan mental berbasis komunitas, di mana orang-orang dapat hidup secara independen, membuat keputusan untuk diri mereka dan mendapatkan layanan perawatan yang mereka mungkin inginkan," ujar Barriga.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa pada tahun kapan saja, sepertiga populasi dunia menderita bentuk-bentuk kelainan mental. Dua pertiga dari mereka tidak mendapatkan perawatan yang diperlukan dan berisiko mengalami kekerasan.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR