Gelak tawa penari-penari cilik berderai ketika mereka berfoto bersama maestro tari asal Yogyakarta, Didik Hadiprayitno yang sohor dengan julukan Didik Nini Thowok. Mereka berfoto di ruang altar keluar Lim di Lawang Ombo, Lasem, Jawa Tengah. Mereka adalah 10 orang siswa-siswi SD Kristen Dorkas Lasem yang usai membawakan tarian dolanan ‘mainan’ anak-anak Lasem diiringi gamelan tua Kiai Nggower yang tutup usia pada tanggal 5 April 2016.
Hari itu adalah hari perayaan ziarah kubur bagi etnis Cina Lasem yang masih menjalankan tradisi leluhurnya – Cengbeng qing ming (bersih terang). Di Cina, tradisi membersihkan makam ini dilaksanakan pada saat musim semi tiba, biasanya matahari mulai bersinar, bunga-bunga bermekaran, suasanya cerah walaupun masih terasa dingin menyengat.
Selasa, 5 April 2016 merupakan hari puncak perayaan Cengbeng di Indonesia. Salah satu perayaan tradisi Cina ini merupakan perayaan yang paling sederhana dan personal jauh dari hingar bingar keramaian. Sembahyang di altar keluarga serta di kuburan pun dimulai sejak pagi. Sajian sembahyangan untuk leluhur atau keluarga yang telah meninggal disajikan di altar keluarga. Mereka membakar hio, memanjat doa dan menuang air teh dari poci ke gelas-gelas mungil untuk leluhur. Sesaat setelah wangi dupa lesap bersama habisnya batang hio, mereka bergerak ke makam keluarga tercinta untuk bersembahyang di sana.
Gunung Bugel di Lasem merupakan area pemakaman Cina tradisional yang sangat besar. Hari itu, lanskap yang dipenuhi bong makam Cina berukuran besar yang tersebar di antara pohon-pohon jati berdaun rimbun ramai didatangi orang. Mereka menyajikan hidangan di altar kubur, berdoa mengangkat hio, dan akhirnya bersantap bersama di area kubur, atau hanya menunggu hio habis terbakar, lalu pulang.
Di Lasem, perayaan cengbeng terasa sangat sederhana. Namun, momen Cengbeng hari itu, diramaikan dengan adanya sebuah pertunjukan gamelan kuno yang bernama Kiai Nggower atau oleh pemilik terdahulunya (keluarga Lie) disebut Mbah Nggumer. Ditemui di Lawang Ombo, pemilik gamelan ini – Soebagio Soekidjan – menyebutkan bahwa gamelan berusia lebih dari seabad itu akan dijual.
"Sudah tidak ada yang merawatnya, kami tidak bisa lagi merawat setelah (E)nkong Gandor bilang tidak bisa merawat lagi. Keluarga memutuskan untuk menjual gamelan itu,” tutur Soebagio.
Demikian pula Gandor Sugiharto, orang yang selama ini merawat Kiai Nggower, menegaskan bahwa ia tak sanggup lagi merawat gamelan itu karena usianya tak lagi muda. “Membersihkan gamelan itu agar tampak mengilap memerlukan waktu paling tidak satu minggu, jumlahnya banyak sekali, berat karena terbuat dari kuningan tebal, ujarnya.
“Pertunjukan ini seperti perpisahan, makanya kami mengundang Mas Didik untuk menari diiringi gamelan itu. Saya ingin orang-orang tahu gamelan ini suaranya merdu dan akan saya jual,” ujar Soebagio yang juga menyatakan bahwa ia ingin sekali menggunakan uang hasil penjualannya untuk proses konservasi Lawang Ombo, rumah kuno gaya Fujian milik keluarga ibunya yang ia beli dari pamannya pada tahun 1996. “Saya ingin memperbaiki Lawang Ombo, biar bisa dijadikan pusat kegiatan seni, galeri juga museum, untuk masyarakat di sini,” ungkapnya.!break!
Gayung bersambut, Didik Hadiprayitno pun bertandang ke Lasem. “Saya ini Tionghoa, saya senang bisa menari di kota tua Pecinan Lasem. Ini ada masalah dengan pelestarian seni dan heritage yang perlu kita pikirkan bersama,” ujarnya saat ditemui di sela-sela waktunya berhias menyiapkan tarian.
Hari itu, Didik membawakan dua buah tarian. Tari Gambyong yang diiringi gamelan kuno dan Tari Pancawarna yang diiringi musik kompilasi dalam piringan CD. “Gamelannya sangat bagus, kondisinya bagus sekali, sayang ya akan dijual, semoga ia menemukan tuannya yang baru dan tidak keluar dari Indonesia,” ujar Didik sambil memperbaiki tata kain batik Lasem hasil karya pembatik Reny Ong Maranatha dan Rumah Batik Pusaka Beruang.
“Saya ini Tionghoa, saya senang bisa menari di kota tua Pecinan Lasem."
“Batik Lasem ini indah dah penuh cerita di dalamnya, ada sejarah, seni dan ini masterpiece,” tambah Didik yang berencana membuat kreasi tari yang ia beri nama ‘Nyah Lasem’. “Dalam imajinasi saya, nanti Nyah Lasem akan menari, mengenakan kain Lasem dan kebaya encim. Saya mau menampilkan semangat, keanggunan, kecantikan, keberanian, dan persahabatan,” ungkap Didik.
Sore menjelang lembayung jingga turun, pagelaran terakhir sang Kiai Nggower pun dimulai. Suara gamelan berkumandang mendayu dan sangat keras tanpa bantuan pengeras suara. Nayaga putri Sekar Laras dari Kecamatan Pancur pun memukul gamelan saat tamu-tamu berdatangan. Perwakilan Pemerintah Daerah Rembang, perangkat desa sampai kecamatan, warga Lasem, dan para tamu dari luar daerah pun berdatangan.
Acara sore itu turut dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Pariwisata di Jakarta Bidang Wisata Tradisi yang khusus datang untuk acara ini. Ana Sunarti perwakilan dari Kementerian Pariwisata dalam sambutannya menyebutkan,”Kami khusus datang untuk acara ini. Lasem punya kekayaan wisata tradisi. Kita harus bekerja keras untuk mengembangkannya.”
Acara pagelaran tari dimulai, nayaga pun berganti. Nayaga putra Asri Ana Budaya dari desa Sendangasri Lasem menabuh gamelan mengiri tari dolanan, tari orek-orek khas Lasem dan tari Gambyong Didik Nini Thowok. Tamu berbaur dengan warga Lasem menikmati pertunjukan sore itu. Hampir semua menyayangkan berita bahwa gamelan tersebut akan dijual.
“Semoga gamelan itu menemukan tuannya yang tepat. Hari ini sudah takdirnya gamelan itu dipertunjukan untuk menyebarkan berita bahwa Lasem dan pelestarian di kota tua Lasem perlu diperhatikan,” ujar Ina Silas dari House of Sampurna.
Munah, seorang warga Soditan, Lasem menyatakan bahwa ia baru pertama kali menyaksikan pertunjukan gamelan milik keluarga Tionghoa selama 45 tahun ia besar dan tinggal di Lasem."Suara gamelannya bikin merinding, ini juga pertama kali masuk Lawang Ombo. Seneng banget ada Didik Nini Thowok, moga-moga ada acara klonengan begini lagi di Lasem,” katanya.
Demikianlah potret kekinian Lasem dalam kekunoannya. Masalah pelestarian Kota Tua Lasem dan sejumlah situs prasejarah, situs Majapahit, situs Islam, situs pecinan menjadi tantangan bagi seluruh pemangku kepentingan. Langkah proyeksi menjadi kawasan benda cagar budaya pun tersendat. Wacana industri wisata tanpa kajian holistik pun menyeruak membuat sejumlah kalangan khawatir akan keselamatan situs. Benda-benda pusaka tampak dimaknai sebagai barang antik akan segera berpindah tangan kepada kolektor di luar Lasem dengan pelbagai latar belakang, mulai dari kondisi ekonomi sampai tiada lagi kemampuan untuk merawat. Maka perlu kekuatan komunitas dan peran banyak pihak untuk mewujudkan semangat ‘semua akan indah pada tempatnya’. Apakah akan terwujud?
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR