Pencakar langit ibu kota mulai tak terlihat. Meninggi nun menjauh. Semakin kecil jika melihat dari bingkai jendela pesawat. Awan biru mengawali selama keberangkatan. Riuh riang para penumpang pun terpancar. Sang pilot telah selesai menunjukkan aksi bermanuver gravitasinya. Hatiku pun ikut hanyut dalam keriangan itu.
Tak disangka, sebentar lagi kakiku melangkah ke tanah leluhur. Mungkin keangkuhanku yang justru menjadikan momen ini menjadi melankoli. Saya pun semakin menderu bahagia untuk bertemu kerabat dan alam yang asri. Ya, tanah kelahiran. Yogyakarta adalah tujuan kedua kami bulan ini. Kota seribu pelajar, kota wisata pun kota budaya. Bak sebutan kota yang menarik bagi kami untuk mengunjungi. Hampir selama tiga hari kami akan singgah.
Saat tiba, hari sudah gelap. Mulailah menyusur ke gang-gang dan pusat kota. Berkat kerjasama yang apik antara National Geographic Indonesia dan Daihatsu perjalanan ini dapat terlaksana. Dengan fasilitas pinjaman mobil, kami pun meneruskan penyusuran. Malam itu kami tertuju ke pusat kota, yakni Tugu Yogyakarta. Memang sudah malam, namun suasana masih ramai terasa. Para pemuda berpasang-pasangan terlihat mengambil foto selfie berlatar belakang Tugu.
Ayah pernah mendongeng pengiring tidur tentang garis imajiner Yogyakarta. Kota yang masih memegang erat budaya kejawennya. Berkisah titik sumbu imajiner garis lurus terletak di pantai Parangkusumo, panggung Krapyak, Kraton Ngayogyakarta, Tugu pal putih dan gunung Merapi. Garis lurus ini melambangkan filosofi “Sangkan Paraning Dumadi” yakni asal-usul manusia dari terlahir hingga skembali ke Sang Pencipta. Oleh itu, kami memilih Tugu untuk dikunjungi malam itu, terpancarkan kerlap-kerlip lampu malam, Tugu terlihat makin eksotik.!break!
Satu malam serasa dua malam, setelah Tugu kami pun mengunjungi area Alun-Alun Selatan. Suasana disini tak kalah ramai. Banyak yang menyewakan sepeda malam yang dihiasi lampu kerlip malam. Warna-warni terpancar, lampu-lampu sepeda ini menghiasi area Alun-Alun Kidul.
Kedua kelopak mata ini terlelap. Pagi pun merebak. Masih terbayang kunang-kunang kemerlap cahaya Tugu semalam. Bergegas walaupun pagi masih gelap. Alih-alih ingin menyambut mentari menampakkan dari bukit yang ada di Sumberwatu, Sumberejo, Prambanan, Sleman. Pagi itu, mentari menyambut dengan paras kuningnya. Betapa hangat. Gunung Merapi dan Prambanan pun menjadi sajian sedap. Pemandangan ini ibarat tempat pelarian yang elok.
Bukit ini baru kukenal saat perayaan pergantian tahun ini. Pastinya setiap orang ingin merayakan dengan teman-teman maupun keluarga. Tidak denganku, hanya seorang diri bermodalkan kamera. Sesaat kuberhenti istirahat sejenak. Beberapa warga terlihat berkumpul, sepertinya mereka penduduk setempat. “mas gak naik ke spot Riyadi?” saut salah satu dari mereka. Aku pun bingung, tempat macam apa itu dengan bertanya-tanya. Ternyata disana adalah titik pandang untuk melihat candi Prambanan dan gunung Merapi. Tak pikir panjang, kugas laju motorku. Ini pertama kalinya perjumpaanku di bukit selatan Prambanan. Pekan minggu kemarin tak kusangka berkesempatan untuk kesini lagi, memang pemandangan disini tak ingkar janji.
!break!
Pagi kami lanjut untuk berkenalan dengan candi-candi lain yang disekitar candi Prambanan. Sampailah di candi kembar. Candi ini memiliki dua candi yang hampir serupa bentuknya, lain menyebutnya Candi Plaosan. Udara yang sejuk mengiringi perkenalan ini. Di samping candi warga membawa sapu lidi, cangkul, arit dan alat pembersih lainnya. Ternyata ada kegiatan kerja bakti. Kami pun membuka obrolan kepada salah satu dari mereka, walaupun hanya sekedar bilang “nuwun sewu pak”.
Candi Plaosan terletak timur dari Candi Sewu sekitar satu kilometer. Dibangun oleh Rakai Pikatan untuk permaisurinya, Pramudyawardani. Dua candi ini dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas. Cukup untuk memanjakan tombol rana kamera. Aktivitasnya pun masih elok untuk diabadikan, anak-anak berlarian, ibu-ibu yang bersiap ke pasar dengan sepeda dan para petani yang menanam benih. Jika beruntung, pagi akan menyajikan candi Plaosan berlatar gunung Merapi.
Siang menjelang. Rasa penasaran kami masih menderu tentang kawasan pantai yang membentang di sepanjang Gunung Kidul. Dengan sigap sopir melaju. Jalan yang berkelok bukan menjadi masalah. Paling tidak kami bisa memejamkan mata sesaat, dari candi Plaosan perjalanan ke pantai memakan waktu satu hingga dua jam. Imaji mimpi seakan riil. Pantai berpasir putih terlihat dari kejauhan. Bukit-bukit ini seakan menyembunyikan pesona itu. Gunung Kidul memiliki objek wisata yang sangat banyak mulai dari Baron, Krakal, Kukup, Ngrenehan, Sepanjang, Watu Kodok, Ndrini, Indrayanti, Pok Tunggal pun masih berjejer ke timur pantai-pantai yang menawan.
!break!
Awan mendung menggantung di langit. Rasa was-was menggangu pikiran. Benar saja di awan mendung membentang sampai di bibir pantai. Gerimis, pupuslah kegirangan kami. Dalam sore itu sudah tiga pantai kami kunjungi, pantai Sepanjang, Watu Kodok dan Baron. Kegundahan terobati. Tak peduli dengan hujan dan mendung yang mengganggu. Tawa canda para keluarga yang menghabiskan waktu di pantai seakan menjadi obat mujarab. Dari intipan teropong lensa tele, sang ayah tertawa lepas dengan anaknya. Ombak-ombak pantai seperti menggelitik mereka.
Mampirku sesaat ke tanah leluhur kini tak lagi mendera, sekedar pelipur penat dari hiruk-pikuk ibukota. Semakin mengerti apa itu tanah leluhur. Akar-akar dari memoriku. Tanah ini memang tak cukup dijelajah lewat waktu.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR