Tenun Sasak, kerajinan kain khas Lombok, kian sulit bertahan di tengah desakan produk tenun dari luar daerah. Kalangan perajin membutuhkan dukungan pemberdayaan agar mampu menghasilkan produk kain tenun yang bernilai kompetitif di pasaran.
Tokoh komunitas suku Sasak di dusun wisata Ende, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Tamat (41), mengatakan, kelestarian tenun Sasak terancam kehadiran tenun dari luar daerah yang membanjiri gerai seni di kawasan wisata dan perdagangan.
Harga tenun dari luar daerah lebih murah Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per helai daripada kain tenun Sasak sehingga cenderung lebih diminati wisatawan sebagai oleh-oleh. ”Sedangkan kain tenun Sasak masih dianggap terlalu mahal,” ujar Tamat, Senin (20/6/2016).
Di desa wisata itu, kain tenun Sasak pun tidak menjadi satu-satunya pilihan produk. Demi menarik minat wisatawan, pengelola gerai seni mendatangkan kain dari luar daerah. (Baca : Sejarah Tenun Cepuk Rangrang Asal Nusa Penida)
Ada kain yang dipesan dengan motif khas Sasak, tapi merupakan hasil produksi luar daerah. Sebagian besar produk didatangkan dari Jawa. Kain bermotif non-Sasak pun turut dipamerkan dalam gerai.
Harga sehelai kain tenun asli Sasak berbahan katun mencapai Rp 500.000-Rp 800.000 untuk ukuran 60 x 200 sentimeter. Sementara harga kain berbahan sutra Rp 1,75 juta hingga Rp 2 juta per helai.
Dengan ukuran yang sama, harga kain tenun berbahan katun yang dipasok dari Jawa Rp 200.000-Rp 300.000. Bahkan, untuk ukuran lebih besar, 2 x 2 meter, harga kain tenun berbahan katun Rp 400.000.
Perajin setempat, Milanif (60), mengatakan, harga tenun Sasak lebih mahal karena proses pengerjaannya lama. Para perajin masih mempertahankan peralatan serba tradisional, mulai alat memintal benang hingga penenunan.
Begitu pula kualitas tenun pun sangat baik dengan kerapatan benang yang padat. Proses produksi pun menjadi lebih panjang. Pengerjaan sehelai kain berukuran 60 x 200 cm memakan 2-4 minggu, bergantung pada kerumitan motif.
”Hasil tenunannya memerlukan detail motif. Susunan benang yang ditenun sangat rapat agar kain awet. Ini membuat waktu pengerjaannya panjang,” ujar Milanif. Bandingkan dengan produksi tenun dari luar yang selesai dalam 3 hari.
Lydia Malinda (30), perajin tenun dari sentra kerajinan tenun Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, menyebut pembeli, terutama wisatawan, umumnya tidak bisa membedakan tenun sasak dengan tenun daerah lain. Kehadiran tenun dari luar kerap membuat perajin tenun sasak kesulitan menjual kainnya.
Banyak perajin terpaksa membanting harga agar kainnya mendekati harga pasaran. Dampaknya, penghasilan perajin lokal kian menipis. Dari produksi selembar kain yang memakan 2-3 minggu, seorang perajin hanya memperoleh penghasilan bersih Rp 200.000. Itu berarti ia memperoleh pendapatan Rp 10.000- Rp 15.000 per hari. (NIK/ITA)
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR