Nationalgeographic.co.id—Ketika angin mengangkat debu gurun halus tinggi ke atmosfer, yodium dalam debu itu dapat memicu reaksi kimia yang menghancurkan beberapa polusi udara, tetapi juga membiarkan gas rumah kaca bertahan lebih lama. Temuan yang diterbitkan di jurnal Science Advances pada 22 Desember 2021 berjudul Ozone depletion due to dust release of iodine in the free troposphere, dapat memaksa para peneliti untuk mengevaluasi kembali bagaimana partikel dari daratan juga turut andil dalam memengaruhi kimia atmosfer.
"Yodium, bahan kimia sama yang ditambahkan sebagai nutrisi pada garam meja, memakan ozon di udara berdebu yang tinggi di atmosfer," kata Rainer Volkamer, Rekan CIRES dan profesor kimia di CU Boulder, seperti dilaporkan Tech Explorist.
Volkamer memimpin tim yang membuat pengukuran atmosfer presisi dengan pesawat terbang di atas Samudra Pasifik timur beberapa tahun lalu. Temuan baru, katanya, memiliki implikasi tidak hanya untuk kualitas udara, tetapi juga iklim. Kimia yodium dapat membuat gas rumah kaca bertahan lebih lama dan seharusnya memberi kita jeda untuk memikirkan kembali skema geoengineering yang melibatkan debu.
"Pemahaman kita tentang siklus yodium tidaklah lengkap," kata Volkamer. "Ada sumber dan bahan kimia berbasis darat yang tidak kita ketahui, yang sekarang harus kita pertimbangkan," tuturnya.
Para peneliti atmosfer telah lama tertarik pada pengamatan bahwa lapisan udara yang berdebu seringkali sangat rendah dalam polusi udara ozon, yang bila terkonsentrasi, dapat merusak paru-paru orang dan bahkan tanaman. Tampaknya, semacam kimia di permukaan debu juga memakan ozon, tetapi tidak ada yang bisa menunjukkan hal itu terjadi dalam eksperimen laboratorium. Orang lain berspekulasi tentang ini, tetapi ada banyak keraguan, kata Volkamer. Sebaliknya, percobaan laboratorium telah lama menunjukkan bahwa bentuk gas yodium dapat melahap ozon—tetapi hanya ada petunjuk tentang hubungan antara debu dan yodium.
Source | : | techexplorist.com |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR