Waktu seolah berhenti di Banda Naira. Menjelajah gugus 13 pulau di tenggara Ambon ini, April 2006 & Mei 2009, saya dan rekan Eddy Purnomo mengenali tiap sudutnya masih seperti gambaran dalam buku-buku sejarah. Dari dermaga memandang Teluk Naira membiru tenang, didesir angin laut, dan hanya dipukul ombak ketika musim angin barat pada Februari, saya merasa Bung Hata dan Sjahrir justru menganggap “dibuang” di sini, 1936 – 1942, sebagai rahmat tersembunyi. Dipindahkan setelah setahun di Boven Digoel (Tanah Merah), Papua, yang membuat raut pucat. Untunglah mereka tak terjangkit malaria “kencing hitam.”
Saat ke kebun pala, saya sadar, Hatta, Sjahrir, dr Tjipto Mangunkusumo dan Mr Iwa Kusuma Soemantri yang “dibuang” pada 1928 dan 1930, bak dapat beasiswa studi lapangan. Mengenal langsung tanah tumbuh pala, “harta pendatang bencana” yang memelekkan Eropa menguasai Nusantara, yang kemerdekaannya sedang mereka perjuangkan.
Rumah pengasingan Hatta dan Sjahrir, dipugar pada 1981-1983, terawat baik. Jendela besar, langit-langit tinggi kokoh, megah dan nyaman sesuai alam tropis. Pakaian, kopiah, kacamata, kursi tamu, lemari makan, tempat tidur tertata rapi. Juga mesin ketik dan “ruang” kelas di teras belakang untuk mengajar anak-anak Banda.
Dalam beberapa jam, seluruh kota Banda Naira, laboratorium alam arsitektur, cetak biru Batavia, terjelajahi jalan santai. Di sumur maut 44 orang kaya Banda, 1621, awal kekuasaan penuh VOC, kami terdiam. Meyakini diri, kini mereka tersenyum menyaksikan keturunannya jadi tuan rumah kembali di Banda Naira.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR