Nasib dua spesies badak di Indonesia berada di ujung tanduk. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) hanya 63 individu. Sedangkan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) hanya tersisa kurang dari 100 individu, dan tersebar di Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh), Bukit Barisan Selatan (Lampung), dan Waykambas (Lampung).
Badak jawa saat ini tengah menghadapi masalah dengan terbatasnya luas habitat. Selain itu ancaman lain datang karena pertumbuhan pohon langkap (Arenga obsitulia) yang sangat cepat sehingga menahan laju tumbuhnya pakan badak jawa di satu-satunya habitat mereka di Ujung Kulon.
“Untuk badak jawa, manajemen habitat harus segera dilakukan dengan lebih agresif, melalui langkah-langkah pengendalian langkap yang merupakan spesies invasif dan sudah sangat menggangu habitat asli badak,” ujar Direktur Konservasi WWF Indonesia, Arnold Sitompul.
Sementara itu, nasib badak sumatra juga tak lebih baik dari saudaranya. Program Koordinator Proyek Ujung Kulon WWF-Indonesia, Yuyun Kurniawan mengatakan, meskipun jumlah populasi badak sumatra relatif lebih besar dari badak jawa, tetapi keberadaannya tersebar dalam sub-sub populasi yang kecil.
Dengan demikian, peluang pertumbuhan populasi badak sumatra relatif lebih rendah dibandingkan dengan badak jawa. Jika tidak dilakukan upaya-upaya proaktif untuk mengkonsolidasikan sub-sub populasi yang kecil tersebut, maka ancaman kepunahan lokal Badak Sumatera jadi semakin nyata.
“Untuk menyelamatkan badak sumatra yang semakin kritis, perlu adanya pendekatan konservasi berbasis spesies seperti yang dilakukan pada badak jawa” ujar Yuyun.
Konservasi berbasis spesies adalah kegiatan konservasi yang dilakukan berdasarkan pertimbangan jenis tertentu yang ada di dalam ekosistem tersebut. Kegiatan ini lebih fokus pada penyelamatan satwa tertentu yang statusnya sudah kritis atau punah secara lokal.
Upaya konservasi berbasis spesies terbukti membuahkan hasil. Terlihat dari peningkatan jumlah populasi badak jawa pada tahun 1970 yang hanya ada 47 individu, kemudian naik menjadi 51 individu pada tahun 1981. Pada tahun 2014 diketahui jumlahnya 57 individu, dan tahun ini total badak jawa menjadi 63 individu.
“Kondisi populasi di alam sudah sangat kritis, sehingga perlindungan habitat saja tidak cukup untuk menyelamatkan badak sumatra,” ujar Arnold.
Arnold menambahkan, upaya konservasi badak sumatra di Indonesia harus dilakukan dengan mengedepankan inovasi baru, yaitu mendorong program pembiakan semi alami yang lebih aktif.
Pemerintah Indonesia mencanangkan target pertumbuhan populasi sebesar 10% untuk 25 satwa dilindungi pada kurun waktu tahun 2015 – 2019, termasuk di dalamnya badak sumatra dan badak jawa. Untuk badak jawa, target ini hampir terpenuhi, namun sayangnya tidak berlaku pada badak sumatra. Tahun 1974, diperkirakan terdapat 400-700 individu badak sumatra, namun dalam 10 tahun belakangan, laju kehilangan populasinya mencapai 50 persen. Bahkan di salah satu kantong populasinya di Kerinci Seblat, badak sumatra sudah tidak ditemukan lagi sejak tahun 2008.
Badak jawa dan sumatra merupakan dua dari lima spesies badak yang masih tersisa di dunia. Kedua jenis satwa langka dan dilindungi ini dikategorikan dalam status kritis terancam punah (critically endangered species) oleh Daftar Merah IUCN. Jika kita tidak serius dalam meningkatkan upaya konservasi badak jawa dan sumatra, bukan tidak mungkin kedua spesies mengagumkan ini punah selamanya.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR