Sebelum kaki langit timur memerahkan Klaten, aktifitas di depot bengkel kereta Pabrik Gula Gondang Winangoen tidak seperti hari-hari kemarin. Gendismanis, panggilan loko jelita dari pabrikan Jerman ”Orenstein & Koppel”, menanti diberangkatkan dari tempat istirahatnya. Nama Gendismanis diresmikan pada saat upacara Tebu Temanten pada Mei 2010.
Sugeng dan Yono tengah sibuk memeriksa ketel uap Gendismanis. Sudah lebih dari 25 tahun Sugeng dan Yono mengabdi sebagai penjaga loko-loko tua pabrik gula ini, dan usia mereka pun sudah berkepala lima. Merawat loko uap dan loko diesel sudah menjadi tugas harian keduanya. Mereka bertugas di remise, demikian istilah Belanda untuk depot bengkel kereta. Waktu musim giling, depot bengkel kereta wajib terjaga sepanjang mesin giling masih berputar. Yono menambahkan, ”Khusus loko uap seperti Si Gendismanis, bagian paling sulit adalah menambal pipa ketel yang bocor karena tidak ada lagi onderdilnya”.
Menu sarapan pagi loko cantik ini menggunakan kayu karet dan kayu munggur. Kayu jati tidak lagi dipilih selain alasan efisiensi, bara kayu jati mudah mengeroposkan lambung alias ketel uap tua-nya Gendismanis. Selain itu, kendati kayu jati memiliki kualitas bara terbaik, harganya terbilang mahal. Kayu karet dipilih lantaran jika basah masih bisa menyala. Kayu munggur juga dipilih karena murah, meski kualitas bara rendah. Seperti loko-loko uap lainnya, buruh kereta perlu waktu kira-kira 3-4 jam untuk memanaskan ketel uap hingga tekanannya cukup untuk menggerakan roda.
Sebelum pukul delapan pagi, Gendismanis telah berada di lintasan rel lori di depan PG Gondang Winangoen. Badannya hitam berkilau dengan kombinasi warna merah dan emas. Sungguh, Gendismanis tampak anggun jelita bertenaga walau lahir pada 1931.
Sebagian kayu-kayu bekal Si Gendismanis itu ditumpuk di bak antara loko dan gerbong penumpang. Kami bersiap duduk di kereta yang didesain menyerupai gerbong penumpang tempo doeloe berikut dengan 20 kursi untuk penumpang.
Masinis kereta membunyikan peluit uap. Itu pertanda rangkaian siap dijalankan mengelilingi kompleks pabrik. Lintasan relnya kira-kira satu kilometer. Gendismanis pun bergerak tertatih meninggalkan sisi depan pabrik, lalu menikung ke kanan melewati sederetan kawasan perumahan lama awal abad ke-20. Kecepatannya tak lebih dari 25 kilometer per jam. Kami masih menjumpai truk-truk pengangkut tebu yang mengantre sejak semalaman. Sekitar 500 meter menuju mulut pabrik, perjalanan kami tersendat karena lintasan rel penuh sesak dengan lori-lori sarat muatan tebu.
Sesekali Gendismanis tersedak karena lintasannya penuh tebu melintang, perjalanan pun dihentikan sementara untuk memberi waktu petugas jaga lintasan membersihkan rel. Nah, kalau sudah begini kereta yang lewat bisa menjadi tontonan seru dan pengobat jemu para buruh dan sopir angkut tebu. Mereka turun dari truk, lalu turut membantu membersihkan jalannya kereta.
Perjalanan rangkaian berakhir di depan depot bengkel tempat Sugeng dan Yono bertugas, sekaligus menjadi rumah Si Gendismanis. Sebelumnya loko tua itu berdinas di Pabrik Gula Rendeng Kabupaten Kudus sampai 1998. Setelah proses konservasi sejak akhir 2009, Gendismanis diberdayakan kembali dengan darmanya yang baru. Si Jelita itu mengabdi sebagai kereta dalam paket Agrowisata Gondang Winangoen.
Akhir dengusan napas Gendismanis seolah menandai memudarnya kejayaan perkebunan tebu di Jawa. Satu demi satu pabrik gula jatuh bangkrut, namun pamor Gendismanis tak surut. Dia adalah penyintas dari zaman kereta tut-tut-tut hingga zaman kereta jug-gejak-gejuk-gejak-gejuk.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR