Anggapan bahwa daging penyu berkhasiat menambah vitalitas yang telah lama berkembang di sebagian kalangan masyarakat ternyata hanya mitos belaka. Penelitian terbaru justru mengungkapkan fakta sebaliknya: mengkonsumsi daging maupun telur penyu bisa menyebabkan beragam penyakit yang membahayakan kesehatan, seperti gangguan syaraf, penyakit ginjal, kanker hati, serta pengaruh pada kehamilan dan janin.
Dalam penelitian tersebut, tim gabungan dari Universitas Papua bersama Pusat Penelitian Sumberdaya Perairan Pasifik (P2SP2) dan Conservation International (CI) Indonesia melakukan survei di Kabupaten Kaimana, tepatnya di Teluk Etna (Lakahia dan Ombanariki) dan Pulau Venu pada bulan Maret-Oktober 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat pada daging dan telur penyu hjau dan penyu sisik dari Pulau Venu telah melebihi batas aman untuk dikonsumsi oleh manusia.
“Memang penyu bisa kawin sampai enam jam, tetapi itu bukan berarti bahwa memakan mereka juga membuat kita menjadi kuat. Semakin banyak daging penyu yang dikonsumsi, semakin tinggi kandungan logam berat yang masuk ke dalam tubuh kita,” ujar Ricardo Tapilatu, salah satu peneliti sekaligus Dosen Biologi Kelautan dan Konservasi Universitas Papua.
Berbagai kandungan zat dalam telur dan daging penyu di antaranya merkuri, kadmium, arsen, timah, seng, mangan, besi dan tembaga. Baik pada penyu hijau maupun penyu sisik, kandungan merkuri, kadmium dan arsennya sudah melebihi ambang batas untuk dikonsumsi oleh manusia.
Hal ini terjadi karena penyu merupakan binatang yang berumur panjang, dan hidupnya berpindah-pindah. Karena penyu melakukan kontak dengan laut tercemar untuk jangka waktu yang lama, makanan yang tercemar dan dikonsumsi oleh penyu sehingga binatang ini pun terkontaminasi unsur-unsur logam berat dan terakumulasi dalam tubuhnya.
Stop konsumsi penyu demi kelestariannya
Dari studi ini, terungkap pula bahwa populasi penyu mengalami penurunan drastis. “Salah satu contohnya penyu belimbing yang pada tahun 2008 ada sekitar 15.000 sarang per tahun, menurun jadi 2.000 sarang pertahun di tahun 2011. Tahun lalu tercatat hanya ada 1.500 sarang per tahun,” kata Ricardo.
Penurunan jumlah penyu terjadi karena beberapa faktor. Selain predator seperti babi, biawak, elang dan hiu, kondisi lingkungan juga sangat mempengaruhi, seperti suhu pasir yang tinggi dan air pasang.
Ricardo menegaskan, ancaman terbesar bagi penyu adalah perilaku manusia. Penggunaan alat kerja nelayan yang dapat mengancam kelangsungan hidup penyu seperti penggunaan kail pancing yang tertelan penyu dan tersangkut jaring nelayan. Fakta lain juga membuktikan bahwa sampah plastik banyak menyebabkan kematian pada penyu yang tidak sengaja mengkonsumsi sampah plastik.
Penyu berperan cukup penting bagi konservasi lingkungan laut. Sebagai contoh penyu hijau merupakan spesies kunci yang memakan lamun sehingga kesuburan lamun meningkat. Sedangkan penyu sisik mengkonsumsi sponges dan ikut menjaga kesuburan sponges.
“Kedatangan penyu untuk melepaskan telurnya di pantai berpasir bisa menjadi indikator baik-buruknya lingkungan pantai itu. Hanya perairan dan pantai yang tidak tercemar serta tidak rusak ekosistemnya yang menjadi tujuan kedatangan penyu,” demikian ujar Victor Nikijuluw, Marine Program Director Conservation International Indonesia.
Menanggapi pemaparan hasil penelitian ini, Wakil Bupati Kabupaten Kaimana, Ismail Sirfefa menyatakan,“Perlu ada sosialisasi masalah ini kepada masyarakat sekaligus mengajak masyarakat untuk menjaga lingkungan dan menjaga spesies penyu di kabupaten ini. Masyarakat harus berhenti mengkonsumsi penyu,” pungkasnya.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR