Para ahli paleontologi mengungkap dua spesies baru dari mamalia peluncur mungil yang hidup berdampingan dengan dinosaurus hampir 160 juta tahun silam.
Meski mereka bukanlah mamalia peluncur pertama yang diketahui dari periode waktu ini, namun kedua spesimen tersebut unik karena mereka memiliki membran kulit tipis dan berbulu yang melekat pada anggota gerak depan dan belakang mereka. Bagian tersebut, terawetkan di batuan dengan sangat baik.
"Dari fosil-fosil ini, sangat jelas bahwa mereka merupakan hewan peluncur, karena kulitnya yang terkarbonisasi," kata rekan penulis studi David Grossnickle, kandidat Ph.D. di University of Chicago.
Diberi nama Maiopatagium furculiferum dan Vilevolodon diplomyos, dua spesies baru ini menawarkan petunjuk bagaimana beberapa mamalia berevolusi untuk bisa meluncur di udara.
"Meluncur merupakan salah satu adaptasi alat gerak paling imut dan paling mencolok," kata rekan penulis Xhe-Xi Luo, ahli paleontologi di University of Chicago.
Fosil berbulu
Kedua mamalia peluncur ini ditemukan di wilayah Liaoning, China, yang terkenal dengan daya pengawetan menakjubkan. Sedimen danau era Jurasik tersebut telah menghasilkan beberapa fosil terbaik di dunia, termasuk sejumlah besar dinosaurus berbulu dan mamalia awal dengan bulu terkarbonisasi beserta jaringan lunak.
Bahkan, tanpa kulit yang terawetkan secara mencolok, struktur kerangka dua mamalia peluncur ini menunjukkan dengan jelas kemampuan meluncur mereka, tulis tim peneliti dalam sepasang makalah yang diterbitkan dalam jurnal Nature.
Grossnickle mencatat bahwa proporsi anggota gerak mamalia peluncur cukup berbeda dengan mamalia yang memanjat pohon atau berjalan di tanah. Kedua spesies baru ini, memiliki anggota gerak yang mirip dengan mamalia peluncur modern.
Jin Meng, ahli paleontologi di American Museum of Natural History yang tak terlibat dalam studi. mengatakan bahwa nggota gerak berupa tangan dan kaki pada kedua fosil tersebut cukup menonjol.
"Jari-jari kaki kita sangat pendek karena kita berjalan di atas tanah, sementara dua hewan ini memiliki jari-jari yang lebih panjang, menunjukkan bahwa mereka beradaptasi untuk meraih pohon di hutan," katanya.
Grossnickle menambahkan, pada kedua fosil tersebut, tangan dan kakinya sangat mirip dengan kelelawar modern.
"Dua hewan ini bisa menggunakan seluruh tangan dan kakinya untuk bertenger seperti kelelawar, dan bahkan sangat mungkin mereka menghabiskan waktu dengan bergelantungan di dahan pohon seperti lemur terbang modern," tuturnya.
Dari darat hingga ke udara
Dua mamalia peluncur ini termasuk dalam 10 spesies sejenis yang diketahui hidup di area ini selama era Jurasik. Keberagaman tersebut berarti ada banyak ruang ekologi yang bisa mereka tempati.
Misalnya, fosil-fosil baru ini menujukkan gigi yang terawetkan dengan baik, memberikan kesempatan langka bagi para peneliti untuk meneliti kebiasaan makan hewan peluncur kuno ini.
"Vilovolodon memiliki mahkota gigi yang sangat kompleks," kata Luo. Ia menjelaskan bahwa mahkota itu cocok dengan gigi geraham penuh seperti yang ditemukan pada tupai pemakan biji modern. Sedangkan gigi Maiopatagium, jauh lebih sederhana, yang artinya hewan ini lebih cenderung memakan buah-buahan lunak.
"Mereka berdua memang sama-sama hewan peluncur, tetapi berbeda dalam metode makan," kata Luo. Kedua spesies ini juga memiliki tubuh yang sangat berbeda. Maiopatagium lebih dekat ukurannya dengan tupai modern, sementara Vilevolodon berukuran lebih besar.
Secara keseluruhan, sifat-sifat dari fosil hewan peluncur ini tampaknya mendukung hipotesis bahwa kelompok mamalia yang berbeda mengikuti pola evolusioner yang sama: mulai dari hidup di tanah, berubah menjadi pemanjat pohon, kemudian menjadi hewan peluncur. Tikus modern dan tupai terbang mengikuti pola ini, bersama dengan marsupial Australia seperti sugar glider.
"Di hutan jurasik, kelompok ini secara independen mengembangkan jenis gerak seperti mamalia hidup lainnya yang juga meluncur," jelas Meng.
"Mamalia mulai bereksperimen dengan jenis penggerak berbeda sejak masa yang sangat awal," pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR