Apakah Anda lebih cenderung memasang kalimat kebahagiaan atau hal yang berhubungan tentang keluarga di media sosial Anda? Ataukah Anda justru sering menggunakan kata-kata emosional dan bersifat kognitif, seperti mengumpat dan mengungkapkan pemikiran terhadap suatu hal?
Kata-kata yang Anda gunakan mungkin merupakan petunjuk kekuatan keagamaan Anda. Sebuah penelitian terhadap 12.815 pengguna Facebook di Amerika Serikat dan Inggris mengungkapkan bahwa penggunaan emosi positif dan kata-kata sosial yang mereka gunakan dikaitkan dengan afiliasi keagamaan. Sedangkan, penggunaan emosi negatif dan proses kognitif lebih sering terjadi pada mereka yang nonreligius daripada mereka yang religius.
Penelitian tersebut mereplikasi hasil akhir Ritter dan kawan-kawan pada penggunaan bahasa orang religius dan nonreligius di Twitter, yang muncul dalam jurnal Social Psychological and Personality Science. Periset dari Amerika Serikat, Inggris, dan Australia memiliki peran dibalik penelitian ini.
"Seperti yang ditemukan Ritter dan rekan-rekannya pada tahun 2013, kami juga menemukan bahwa emosi positif dan kata-kata sosial dikaitkan dengan orang religius, sedangkan emosi negatif dan proses kognitif lebih dikaitkan dengan orang yang nonreligius," ujar David Yaden dari University of Pennsylvania, yang memimpin penulis penelitian.
Artikel terkait: Mengapa Orang yang Lebih Cerdas Cenderung Ateis? Ini Penjelasannya
Dan mereka menemukan beberapa wawasan tambahan; "Individu nonreligius sering membahas fisik dan menuliskan tentang kematian daripada orang-orang religius,” tambah Yaden.
Para peneliti mengumpulkan data dari aplikasi MyPersonality, yang salah satunya meminta pengguna Facebook untuk melaporkan afiliasi keagamaan mereka, dan meminta mereka untuk mengizinkan peneliti menganalisis status tertulis mereka di media sosial dan laporan informasi mengenai diri mereka (Kosinski, Stillwell, Graepel, 2013).
Mereka menjalankan dua analisis, untuk melihat kata-kata masing-masing kelompok (religius versus nonreligius). Tim melakukan analisis "top-down" dan "bottom-up".
Pendekatan “top-down”, Linguistic Enquiry dan Word Count (LIWC), menggunakan pengelompokan yang dipilih oleh peneliti, dan berguna dalam memahami data dari segi teori.
Pendekatan "bottom-up," atau Differential Language Analysis (DLA) memungkinkan sebuah algoritma untuk mengelompokkan kata-kata dan dapat memberikan "pandangan transparan" yang mendalam ke dalam bahasa.
Baca juga: Percaya Bumi Datar dan Vaksin Penyebab Autis? Mungkin Anda Hanya Ingin Menjadi Unik
Hasil penelitian mengungkapkan, orang-orang religius menggunakan lebih banyak kata-kata religius, seperti "iblis," "berkat," dan "berdoa" daripada orang-orang nonreligius. Mereka juga menunjukkan penggunaan kata-kata positif yang lebih tinggi, seperti "cinta”, serta kata-kata keluarga dan sosial, seperti "ibu" dan "kita".
Di sisi lain, individu nonreligius menggunakan kata-kata yang cenderung mengungkapkan kemarahan, seperti "benci”. Mereka juga menunjukkan penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan emosi negatif dan proses kognitif dengan frekuensi tinggi, seperti "akal sehat”.
Kata-kata lain yang sering digunakan oleh orang-orang nonreligius adalah kata-kata umpatan, mengungkit-ungkit fisik, seperti “kepala” dan “leher”, serta kata-kata yang berhubungan dengan kematian, seperti “mati”.
Peran Agama
Sementara sekularisme meningkat di barat, para penulis penelitian mencatat bahwa lebih dari 80% populasi dunia mengidentifikasi beberapa jenis agama, yang nampaknya kini menjadi sebuah tren di masyarakat.
"Agama dikaitkan dengan kesejahteraan dan kehidupan yang lebih lama, tetapi hal itu juga dapat dikaitkan dengan tingkat obesitas dan rasisme yang lebih tinggi,” tutur para peneliti. Bagi mereka, memahami penggunaan bahasa adalah bagian dari gambaran yang lebih besar tentang pemahaman bagaimana afiliasi keagamaan berkaitan dengan kehidupan selanjutnya.
Baca juga: Apa yang Terjadi Saat Seseorang Mati Suri?
Yaden dan rekan-rekannya tidak mengetahui apakah perilaku linguistik yang berbeda antara orang-orang religius dan nonreligius mencerminkan keadaan psikologis orang-orang dalam kelompok tersebut.
Di samping itu, mereka juga tidak mengetahui apakah penggunaan bahasa itu mencerminkan norma sosial sebagai bagian dari kelompok tersebut, atau beberapa kombinasi di antara kedua pertanyaan besar itu. Mereka berharap, penelitian lebih lanjut akan menawarkan lebih banyak wawasan.
Awalnya, Yaden dan rekan-rekannya berharap untuk membandingkan berbagai afiliasi keagamaan satu sama lain, yaitu bagaimana umat Budha berbeda dari orang Hindu, orang Kristen dari Muslim, dan Ateis dari Agnostik. Namun, mereka tidak memiliki cukup data spesifik untuk melakukan analisis ini. "Kami berharap bisa melakukannya begitu ada data yang lebih besar tersedia untuk kami," ucap Yaden.
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR