Akhir pekan lalu, gedung pertunjukan Graha Bhakti Budaya di Taman Ismail Marzuki penuh sesak. Sebanyak 850 anak usia 4-12 tahun menuangkan imajinasi mereka melalui tarian bertajuk "Petualangan Tinker Bell". Acara tersebut diselenggarakan oleh Namarina, institusi pendidikan non-formal yang bergerak di bidang seni tari Ballet, jazz dan kebugaran.
Pertunjukan tersebut merupakan kegiatan tahunan yang diadakan sebagai sarana pembelajaran bagi para murid dan guru serta sebagai bagi orang tua murid untuk memonitor perkembangan anak-anaknya.
"Pementasan ini melatih anak agar lebih percaya diri tampil di panggung dan juga melatih kemampuan bekerja sama mereka," kata koreografer utama pertunjukan, Anastasya Ulliwidya Salim.
Selain itu, anak-anak juga belajar mengenal berbagai elemen pendukung pertunjukan seperti alur cerita, kostum, dekorasi, dan pencahayaan.
Pementasan ini mengisahkan petualangan Tinker Bell dan kawan-kawannya, yang harus menjelajah hutan rimba untuk mencari daun pegagan (Centella asiatica). Mereka harus menemukan tanaman tersebut untuk menyembuhkan sayap Tinker Bell yang rusak terkena terpaan hujan.
Sayangnya, salah satu peri, yakni Peri Mawar, enggan turut membantu Tinker Bell dan lebih memilih melanjutkan permainannya. Akhirnya, Tinker Bell pergi dengan ditemani Peri Matahari, Peri Tulip, dan Peri Aster.
Di tengah perjalanan, Tinker Bell dan tiga peri lainnya mendengar suara minta tolong. Setelah ditelusuri, suara tersebut ternyata berasal dari Peri Mawar yang tersangkut di sarang laba-laba. Rupanya, ia terlalu asyik bermain dan terbang terlalu kencang hingga tersangkut di sana. Tinker Bell dan peri lainnya pun segera menolong Peri Mawar terbebas dari jeratan sarang laba-laba.
Kejadian itu membuat Peri Mawar menyadari kesalahannya. Ia meminta maaf kepada Tinker Bell karena tidak mau menolongnya saat sayapnya rusak. Ia berjanji akan menolong teman yang sedang kesulitan. Peri Mawar kemudian ikut dalam perjalanan mencari daun Pegagan.
Dengan bantuan satwa-satwa di hutan, akhirnya mereka berhasil menemukan tanaman yang mereka cari. Para peri segera membantu mengobati sayap Tinker Bell, hingga akhirnya ia dapat terbang kembali.
"Melalui cerita ini, diharapkan anak-anak dapat belajar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita harus tolong menolong," ujar Anastasya.
Ada 16 tarian yang ditampilkan dalam pertunjukan kali ini, termasuk tarian pembuka dan penutup. Para penari mengenakan beragam kostum sesuai perannya, antara lain bunga-bungaan, tanaman Centella, burung, kepik, kupu-kupu, tupai, kelinci, dan hujan.
"Kami ingin mengenalkan anak-anak kepada alam. Kami kenalkan mereka dengan nama-nama bunga, hewan-hewan," jelas Anastasya.
Para penari cilik tersebut bertingkah selayaknya tokoh yang diperankan. Para pemeran kelinci misalnya, meletakkan kedua tangan mereka di atas kepala—menyerupai telinga kelinci, dan menggoyang-goyangkan ekor buatan yang menempel di bokong mereka. Melihat aksi mereka, saya menahan diri sekuat tenaga untuk tidak mencubit paha sendiri sebagai pelampiasan rasa gemas.
Dekorasi berupa pelangi dan awan, taman bunga, serta hutan dengan pepohonan yang rimbun memperkuat impresi tentang dunia anak-anak yang penuh warna dan imajinasi.
Pementasan "Petualangan Tinker Bell" yang dibawakan oleh anak-anak berbakat ini, ibarat mesin waktu yang melemparkan saya ke kehidupan masa kanak-kanak yang ceria, penuh warna, dan tanpa kekhawatiran apa pun—kecuali melewatkan film kartun di televisi pada Minggu pagi.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR