Jika kita berpikir tentang Etiopia maka gambar yang mungkin terbayang adalah padang pasir berdebu nan luas, hiruk pikuk jalanan di Addis Ababa atau tebing terjal Simien Mountains—mungkin dengan pelari jarak jauh yang melompat di latar belakang. Namun, negara ini juga merupakan salah satu yang paling aktif secara vulkanik di Bumi, berkat Lembah Celah Besar Afrika yang menembus jantungnya.
Pembentukan celah (rifting) merupakan proses geologis yang mematahkan lempeng tektonik, kira-kira dengan kecepatan pertumbuhan kuku jari Anda. Di Etiopia, proses ini membuka jalan bagi magma untuk mendesak keluar menuju permukaan, dan terdata ada lebih dari 60 gunung berapi di sana. Banyak gunung telah mengalami letusan kolosal di masa lalu, meninggalkan kawah besar yang merendam dasar retakan. Beberapa gunung api masih aktif sekarang. Kunjungilah mereka, dan Anda akan menemukan kolam lumpur yang bergelegak, mata air panas dan sejumlah lubang uap.
Uap bergerak naik di gunung berapi Aluto, Etiopia. (William Hutchison)
Uap ini telah dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk mencuci dan mandi, tapi di balik fungsi ini, tersimpan potensi yang jauh lebih besar. Aktivitas di permukaan menandakan keberadaan cairan sangat panas jauh di bagian bawah gunung, yang mungkin mencapai suhu 300°C–400°C. Galilah ke bawah, maka seharusnya kita bisa mengakses uap bertemperatur tinggi ini, yang bisa menggerakkan turbin-turbin raksasa dan memproduksi daya listrik dalam jumlah besar. Hal ini sangat berarti bagi sebuah negara yang 77% populasinya tidak punya akses ke listrik, salah satu hal dengan tingkatan terendah di Afrika.
(Baca juga: Tak Selalu Cair dan Panas, Magma Juga Dapat Berwujud Padat dan Dingin)
Tenaga panas bumi baru-baru ini telah menjadi ihwal serius berkat survei geofisik yang menunjukkan bahwa beberapa gunung berapi bisa menghasilkan daya sebesar 1 gigawatt (GW). Itu setara dengan beberapa juta panel surya atau 500 turbin angin dari tiap gunung berapi. Jumlah sumber daya yang belum dimanfaatkan diperkirakan sebesar 10 GW.
Mengubah energi ini menjadi daya listrik akan membantu memajukan proyek percontohan panas bumi yang dimulai sekitar 20 tahun lalu di gunung berapi Aluto, di daerah danau 200 km sebelah selatan Addis Ababa. Infrastrukturnya baru-baru ini ditingkatkan untuk menaikkan produksi hingga sepuluh kali lipat, dari 7 MW menjadi 70 MW. Singkatnya, panas bumi tampaknya merupakan solusi rendah karbon terbarukan yang fantastis untuk Etiopia, yang bisa membentuk tulang punggung sektor listrik dan membantu orang keluar dari kemiskinan.
Masalah utamanya adalah, tidak seperti di negara-negara maju yang memiliki panas bumi, seperti Islandia, sangat sedikit yang diketahui tentang gunung-gunung berapi Etiopia. Pada sebagian besar kasus, kita bahkan tidak tahu kapan letusan terakhir terjadi—ini pertanyaan yang sangat vital karena gunung berapi yang meletus dan pembangkit listrik skala besar tidak akan menjadi pasangan serasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Badan Penelitian Lingkungan Hidup Inggris (NERC) telah membiayai RiftVolc, sebuah konsorsium universitas Inggris dan Etiopia dan survei geologi, untuk mengatasi beberapa masalah ini. Proyek ini telah berfokus pada pemahaman bahaya dan pengembangan metode untuk menjelajah dan memonitor gunung berapi, sehingga bisa dimanfaatkan dengan aman dan berkelanjutan.
Tim ilmuwan telah berada di lapangan selama tiga tahun terakhir untuk menggelar peralatan pemantauan dan melakukan pengamatan. Namun beberapa terobosan yang paling penting justru datang dari jalur yang sama sekali berbeda—melalui peneliti yang menganalisis gambar dari satelit.
Hal tersebut telah menciptakan temuan menarik di Aluto. Menggunakan teknik radar satelit, kami menemukan bahwa permukaan gunung berapi mengembang dan mengempis. Analogi terbaik yakni bernafas—kami menemukan “tarikan nafas” tajam yang mengembungkan permukaan selama beberapa bulan, diikuti dengan “embusan nafas” bertahap yang menyebabkan turunnya tanah (subsidence) secara perlahan selama bertahun-tahun. Kami tidak sepenuhnya yakin apa yang menyebabkan pasang surut ini, tapi itu merupakan bukti yang bagus bahwa magma, air, atau gas panas bumi bergerak berputar di kedalaman sekitar 5 km dari permukaan.
(Baca juga: Menelusuri Jejak Manusia Modern Pertama di Gua Braholo Gunungkidul)
Dalam makalah terbaru, kami menggunakan gambar panas bumi dari satelit untuk menyelidiki emisi dari bukaan gunung Aluto dengan lebih saksama. Kami menemukan lokasi di mana gas yang lepas sering kali bertepatan dengan garis rekahan dan patahan di gunung berapi.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR