Tepuk tangan penonton membahana di gedung pertunjukan Pumpenhaus di kota Munster, Jerman, Minggu malam kemarin (25/11/2017). Semua terpesona oleh tarian Cry Jailolo karya penari Eko Supriyanto. Tarian yang dibawakan oleh tujuh pemuda asal Jailolo itu menyentak publik yang hadir. Pentas ini dalam rangka festival seni Europalia 2017 yang diadakan di beberapa negara Eropa seperti Belgia, Jerman, Belanda, Inggris, Perancis dan Polandia.
Penonton berdiri sambil bertepuk tangan memberikan penghormatan. Tepuk tangan tak jua putus saat para penari mulai membungkuk memberikan penghormatan. Eko Supriyanto yang tak ikut menari pun didaulat ke atas panggung untuk menerima penghormatan. Tepuk tangan kembali riuh sampai Eko dan para penari meninggalkan panggung.
(Baca juga: Keraton Surakarta Kembali Gelar Tradisi Sekaten)
Saya kira penonton akan berhenti bertepuk tangan, malah saat Eko dan para penari menghilang dari atas panggung tepuk tangan penonton malah menjadi-jadi. Mereka tetap berdiri menunggu sampai Eko dan kawan-kawan muncul kembali ke atas pangung untuk menerima penghormatan.
Berkali-kali mereka membungkuk untuk menerima penghormatan dari penonton. Terpancar kebanggaan dan keharuan di wajah mereka ketika menerima standing ovation yang panjang. Eko mengajak para penari berlarian mengelilingi panggung. Tepuk tangan penonton semakin membahana.
Direktur Pumpenhaus naik ke panggung, memberikan bunga mawar ke Eko dan para penari. Tak terasa air mata saya merembes menyaksikan kejadian ini. Sepertinya saya ikut merasakan kebanggaan yang sama sebagai orang Indonesia.
Tarian karya Eko Supriyanto yang diberi judul Cry Jailolo itu menyentak penonton. Gerakan tarian ini didasari dari berbagai gerakan tarian tradisional Maluku. Ada tarian Soya-soya yang merupakan tari perang, ada juga tarian kepahlawanan, Cakalele. Dan Eko meramunya menjadi tontonan yang menyihir.
(Baca juga: Perempuan Perempuan Chairil: Menghidupkan Kembali Kisah Asmara Sang Pujangga)
Ada tujuh pemuda asal Jailolo yang membawakan tarian Cry Jailolo, yaitu Fernandito Wangelaha, Fernando Migar, Greatsia Yobel Yunga, Noveldi Bontenan, Arzi Lefry Noky, Gerry Gerardo Bella, dan Gaudentinus Aldo Talubun.
Empat puluh lima menit merupakan waktu yang panjang untuk sebuah tarian. Penonton disuguhkan kejutan-kejutan dari tiap sekuen tariannya. Gerakannya dinamis dan variatif, menyisir dari sudut panggung yang satu ke sudut yang lain. Gerakan solo menjadi gerakan kelompok atau kebalikannya.
Cawat merah menyala dan gerakan penuh tenaga di atas panggung membangun gairah tersendiri. Badan para penari pun mulai mengeluarkan keringat. Membuat tarian ini tak membosankan, penonton dibuat terpaku di tempat duduknya dan menyaksikan sampai tarian berakhir.
Mantan kareografer penyanyi internasional Madonna ini membuktikan kelasnya sebagai penari papan atas Indonesia dan penari kelas dunia.
(Baca juga: Muh. Zaenuddin, Pemuda Pekalongan Penggagas Batik Burn Out)
Tarian dibuka dengan kondisi panggung yang gelap total, lalu terdengar soundbite hentakan kaki dari arah tengah panggung, sampai kemudian lampu sorot perlahan intensitasnya dinaikan.
Terlihat seorang penari mengenakan cawat berwarna merah menghentak-hentakkan kakinya di tengah panggung. Hentakan kakinya membentuk irama, yang kemudian bergabung dengan musik latar yang perlahan masuk.
Irama hentakan kaki itu yang kemudian menjadi jiwa dari tarian itu: begitu ritmis dan membius.
“Greaaat dance! Incredible, like a dream!”, kata seorang penonton yang saya tanya soal tarian itu. Ia juga menyampaikan ritme hentakan kaki para penari seperti membawanya ke alam mimpi.
Gerakan dan irama hentakan kaki yang dibangun dari tarian itu seperti mengajak penonton untuk ikut menari. Dan ini terbukti, saat penonton memberi standing ovation mereka juga menghentak-hentakkan kakinya seperti irama hentakan kaki para penarinya.
Suasana gedung pertunjukan pun riuh oleh hentakan-hentakan. Bahkan beberapa penonton terlihat ikut menggerakan tangan seperti gerakan penarinya. Air mata haru saya tak tertahankan menyaksikan ini.
Eko mengakui kalau Cry Jailolo adalah karya masterpiecenya. “Perlu dua tahun untuk menciptanya,” begitu terangnya. Ia baru merasakan nyaman tarian ini dibawakan setelah pentas ke sepuluh kalinya. Katanya, “Sebuah tarian tak langsung jadi, perlu proses panjang.”
(Baca juga: Berkunjung ke Rumah Budaya Desa Sambong)
Para penarinya pun bukan penari tradisional, tapi pemuda asli Jailolo yang dilatih terus menerus. Sebagian di antaranya adalah korban konflik yang telah memporak-porandakan Maluku. Dari usia belasan tahun sampai kini para penarinya berusia dua puluh tahunan.
Sesaat setelah pementasan publik diberi waktu untuk tanya jawab dengan Eko dan para penarinya. Cry jailolo adalah bentuk keprihatinan Eko akan alam Halmahera yang dirusak oleh tangan-tangan manusia.
Karya menceritakan tentang kekayaan kehidupan bahari yang terancam. Oleh bom-bom yang meluluhlantakan terumbu karang dan oleh keserakahan manusia yang berkuasa di atasnya.
Cry Jailolo adalah tangisan Eko. Dan malam itu di gedung pertunjukan Pumpenhaus, Munster di negeri Jerman, menjelma juga menjadi rembesan air mata saya dan beberapa orang Indonesia hadir. Kami menjadi saksi Cry Jailolo menyihir publik Eropa.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR