Rob Henry adalah seorang peselancar atau surfer yang hidup dan bekerja di Melbourne, Australia, ketika Krisis Keuangan Global mengguncang dunia pada tahun 2008.
Bagi Rob, krisis tersebut menjadi katalisator untuk memikirkan kembali caranya menjalani kehidupannya.
"Saya perlu menjauh dari posisiku di sana (Melbourne), dan melihat apa arti kehidupanku. Apakah saya membantu siapapun dengan posisi itu? Saya merasakan ada sesuatu yang mungkin lebih bermakna dan ada cara hidup yang lebih berkelanjutan dan membangun," tuturnya.
"Jadi saya memutuskan meninggalkan Melbourne dan pergi untuk mencari hal itu," lanjut Rob sebagaimana diutarakannya pada Progam Hack Triple J, salah satu stasiun radio milik ABC.
Apa yang terjadi selanjutnya bukan hanya semacam liburan yoga dua minggu di Byron atau hidup beberapa bulan di hostel-hostel di Eropa untuk pencarian jati diri sebagaimana dilukiskan dalam film Eat Pray Love.
Pencarian Rob itu berlangsung delapan tahun! Kehidupannya ini antara lain ditandai tato kesukuan di tubuhnya, mempelajari bahasa baru, dan menukar papan selancarnya dengan kain pinggang. Semuanya fragmen kehidupannya itu dia filmkan.
Baca Juga: Dunia Para Roh: Perjumpaan Terakhir Bersama Aman Lau Lau
Rob Henry datang ke Indonesia di sebuah resor bagi peselancar untuk pekerjaan pembuatan film. Dia bertemu seseorang yang membuatnya memikirkan kembali kehadirannya di dunia.
"Ada seorang anak muda Mentawai bernama Andy yang bekerja di resor itu selama setahun. Dia memiliki hubungan luar biasa dengan tempat itu. Yang saya pikirkan jangan-jangan budaya dan kebebasan yang terlihat di matanya justru sesuatu yang tidak pernah saya lihat selama ini," ujar Rob.
Penduduk asli suku Mentawai diyakini telah tinggal di Kepulauan Mentawai (sejumlah pulau di lepas pantai barat Sumatra) selama ribuan tahun.
"Sangat menyegarkan melihat Andy. Dia menggelitik (rasa penasaran) saya. Saya tertarik untuk mengetahui apa yang dia ketahui dan yang tidak kita ketahui," kata Rob.
Dia pun segera menemukan dirinya hidup di desa nelayan terpencil, tinggal dengan sebuah suku yang tidak bisa berbahasa Inggris.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR