Teks dan foto oleh Fredy Susanto
Anai kakai sikola, oni nia patas
Ta pa moi nu ake kakai paroman….
Nationalgeographic.co.id—Anak-anak itu menyanyikan potongan syair lagu begitu bersemangat. Mereka memang tidak memedulikan nada, tetapi membuat saya terkesan. Di samping saya, Fernando menerjemahkan syair itu sembari berbisik.
“Kami punya sekolah, namanya Patas. Bisa tidak beri kami bantuan?”
Saya terhenyak saat mendapati makna potongan syair itu. Betapa tidak, bagi saya, perjalanan ke sekolah dasar bukanlah perkara sulit. Dahulu sewaktu sekolah, saya selalu diantar oleh Bapak. Kami naik motor melintasi aspal mulus Ibu Kota.
Namun, apa yang saya temui di sini, sangatlah berbeda dengan sewaktu saya bersekolah dulu–sekitar dua puluh tahun silam. Saya mengikuti anak-anak itu melintasi beragam medan.
Awalnya, tanah keras yang menyenangkan sepatu, tapi kelamaan berubah menjadi lumpur yang menjebak dan mampu memutuskan tali sandal teman saya.
Sementara saya berjuang melewati lumpur, beberapa anak berjalan gesit. Tanpa alas kaki, mereka seperti tak kesulitan menaklukkan medan sembari memegang buku tulis.
Saya akhirnya mencapai sekolah hutan itu. Jalur berlumpur itu memang berhasil saya lewati, tetapi sepatu saya telah basah. Ada lumpur yang menelusup ke dalam kaos kaki, lantaran saya sempat beberapa kali terperosok.
Inilah yang membuat saya merasa kalah cekatan dengan anak-anak sekolah hutan itu.
Pengalaman saya mengikuti anak-anak pergi ke sekolah hutan telah membuka mata dan pikiran. Saat teknologi telah berkembang pesat di luar sana, saya masih menemukan kehidupan anak-anak yang berjuang menuju sekolahnya di salah satu sudut Nusantara.
Wajar saja, mereka menyanyikan potongan syair lagu itu saat mendapatkan kunjungan dari para pendatang—seperti saya.
Beratapkan daun sagu dengan pembatas dinding dan lantai dari kayu tropis, bangunan sekolah hutan itu lebih mirip pondok. Hanya ada dua ruangan di sini. Sekolah hanya menampung kelas satu dan dua, yang menempati masing-masing ruangan itu.
Sekolah di dalam rimba raya tropis itu telah ada sejak sepuluh tahun silam. Pastur Pio, rohaniawan berkewarganegaraan Italia, berinisiatif mendirikan sekolah atas bantuan dari berbagai pihak.
Nama resminya Sekolah Patas (Parurukat Toga Sikerei Butui) tertulis di sebuah papan yang digantung di atas pintu masuknya. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai sekolah hutan, lantaran berada di tengah hutan alam tropis yang unik.
Di sinilah saat ini saya berada, di Dusun Butui, bagian dari Desa Madobak yang termasuk Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut di Sumatra Barat.
Di bagian depan kelas terdapat papan tulis kayu yang dicat hitam. Ruang kelas satu tak berbangku. Seluruh murid melantai sembari membuka buku tulis seadanya.
Sementara, ruangan kelas dua memiliki satu meja dan bangku panjang–yang menjadi tempat duduk lima murid. Setiap anak hanya punya satu buku tulis dan satu pensil.
Saya yang terbiasa hidup di lingkungan hutan beton Ibu Kota merasa senang berkunjung ke sekolah hutan. Berdiri di tanah lapang yang dikelilingi hutan lebat dengan bunyi ngengat di siang hari, dan gemericik sungai jernih berair dingin dengan udara hutan yang begitu segar. Tempat bermain yang sempurna!
Fernando, pemuda ramah yang berusia 28 tahun. Dengan latar belakang sebagai tamatan Sekolah Menengah Pertama, ia menjadi pengajar sekolah. Sebetulnya, ia pengajar pengganti setelah guru yang sebelumnya tidak bertahan lama dan tidak ada pengganti hingga satu tahun.
Saya mendengarkan penjelasan Fernando tentang sekolah hutan. Meski bukan sekolah formal, tempat ini mempersiapkan anak-anak agar mampu baca, tulis, dan berhitung.
Sekolah formal berada di Dusun Ugai—jaraknya sekitar dua jam berjalan kaki dari sini. Di sana pun, hanya sampai tingkat SMP. Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, anak-anak harus pergi ke muara.
Saat saya datang, murid kelas satu hanya ada 19 anak. Kalau seluruhnya hadir tercatat 28 murid. Seluruh siswa kelas dua hadir: lima murid.
“Saya masih mensyukuri, lah masih sekolah ini, kemarin waktu dulu bapak-bapak itu, si besar-besar saya (maksudnya: orang yang dituakan) baca tulis, membuat namapun tidak bisa,” kata Fernando. Ia memaklumi jika tidak semua anak dapat hadir setiap hari. Biasanya, si anak membantu orangtua bekerja di ladang.
Mengajar untuk dua kelas sekaligus membuat Fernando kewalahan. Bolak-balik dari ruangan kelas satu ke kelas dua. Jika di kelas dua suasananya tenang karena hanya terdiri dari lima murid, beda halnya di kelas satu apalagi kedatangan kami dengan kamera menarik perhatian mereka.
Membaca situasi itu Fernando pun memperbolehkan saya memotret mereka. Kami mengakhirinya dengan memotret seluruh siswa bersama Fernando untuk foto kelas sebagai kenang-kenangan.
Saya datang tidak sendiri ke sekolah hutan. Ada sejumlah rekan-rekan dari Jakarta. Kami datang untuk memenuhi undangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Inilah kesempatan saya menelisik kehidupan gugusan pulau yang berbataskan Samudra Hindia, yang masih memiliki hutan hujan tropis yang unik.
Sebagai Cagar Biosfer, tak kurang dari 896 tumbuhan tingkat tinggi, 31 spesies mamalia—65 persennya endemik dan 134 spesies burung—19 diantaranya endemik— menjadi kekayaan hayati Pulau Siberut. Keragaman ini membuat pulau ini sebanding dengan Kepulauan Galapagos, tempat Darwin menemukan teori evolusinya. Di kepulauan ini kita dapat menjumpai empat primata endemik (hanya dijumpai di tempat ini) Mentawai, yakni simakobu, bokkoi, joja, dan bilou—sang siamang kerdil.
Pulau Siberut tidak hanya kaya dalam keberagaman alam, keterasingan geografis dari Kepulauan Mentawai juga telah melahirkan riwayat genetika yang unik dari komunitasnya yang pernah mengisi sajian National Geographic Indonesia edisi Maret 2006. Deretan keistimewaan inilah yang antara lain membuat pemerintah mengusulkan Pulau Siberut menjadi salah satu cagar biosfer dalam definisi UNESCO pada 1981.
Kami beranjak dari sekolah hutan dan menyusuri anak sungai. Tujuan kami: uma, tempat menginap pada malam sebelumnya. Uma adalah penyebutan untuk rumah adat masyarakat di Kepulauan Mentawai. Fungsinya, kira-kira tak berbeda dengan rumah panjang Suku Dayak di Pulau Kalimantan. Ada keluarga besar di dalamnya.
Penamaan uma biasanya sesuai dengan nama suku pemilik rumah adat itu. Namun ada yang penamaannya sesuai dengan posisi geografis uma, bahkan jenis kayu yang mendominasi bangunan tersebut.
Meski begitu tidak semua keluarga tinggal di dalam uma, mereka memiliki istilah rusuk. Artinya, bagi penghuni yang sudah berkeluarga tinggal terpisah di rumah sendiri—jaraknya tidak jauh dari rumah adat.
Saya menginap di Uma Salakkirat–yang dinamakan sesuai dengan nama sukunya di Dusun Butui. Untuk mencapainya, saya harus menempuh perjalanan empat hingga lima jam melalui perahu bermesin tempel dari muara di daerah Manaikoat.
Alternatif lainnya, menggunakan sepeda motor melalui jalan setapak yang sudah dilapisi adukan beton dengan waktu tempuh sekitar dua setengah jam.
Uma Salakkirat cukup besar, bahkan sangat besar sehingga bisa menampung rombongan kami dan beberapa keluarga penghuninya. Lantainya terbuat dari potongan kayu yang tidak dipaku, namun kokoh saat diinjak meski terkadang terdengar bunyi berderit.
Konstruksinya sungguh mengagumkan, sama sekali tidak menggunakan paku hanya memakai teknik ikat, tusuk dan sambung.
Bagian depannya merupakan ruangan terbuka yang tidak berdinding, sebagai tempat untuk bersantai, tempat berdiskusi, membuat tato, dan tempat melantunkan nyanyian.
Di langit-langitnya dihiasi ratusan tengkorak babi hutan hasil ternak serta beberapa tempurung penyu yang dibeli dari nelayan dari muara. Tengkorak- tengkorak ini sengaja dipajang karena kepercayaan agar binatang ternak tetap ada.
Bagian tengah Uma terdapat sebuah perapian yang biasanya dipakai sebagai tempat memasak, penghangat di malam hari dan juga lokasi untuk melakukan ritual menginjak bara api.
Di langit-langitnya juga dipajang tengkorak monyet, babi hutan, dan beberapa jenis burung. Bedanya tengkorak- tengkorak yang dipajang di bagian tengah merupakan hasil buruan. Dan di bagian uma paling belakang merupakan ruangan yang cukup besar yang berfungsi sebagai tempat mengadakan musyawarah, dan kegiatan adat, serta tempat untuk tidur bagi kaum wanita.
Uma Salakkirat berlokasi di dekat sungai yang merupakan terusan dari sungai yang ada di samping sekolah hutan. Berair dingin dan tampak begitu jernih, dikelilingi hutan Butui yang lebat. Ini tempat mandi saya selama dua hari dengan pemandangan yang menakjubkan.
Awalnya memang kagok untuk mengikuti kebiasaan masyarakat Mentawai untuk mandi di sungai di tempat terbuka. “Langsung cemplung saja, enak banget dinginnya!” ajak Herman Harsoyo, fotografer dari Jakarta yang ikut dalam rombongan. Ia seperti menangkap keraguan saya sewaktu akan mandi di sungai.
Terbakar ajakan itu, saya tak lagi menghiraukan air yang mengigilkan tubuh. Ah, begitu menyegarkan! Bagi saya yang tinggal di kota besar tanpa sungai jernih, Sungai Butui memberikan sebuah kemewahan yang ada di tengah hutan.
Sungai jernih di tengah rerimbunan hutan yang masih terjaga ini tampaknya bukan karena tanpa alasan. Hutan, sungai, gunung dan semua bentukan alam bahkan yang terkecil sekalipun seperti batu adalah istana megah bagi para roh yang dihormati oleh masyarakat Mentawai.
Meski agama sudah menyapa kehidupan mereka, tetapi dalam keseharian warga tak dapat lepas dari kepercayaan Arat Sabulungan.
Arat yang berarti kepercayaan, Sa berarti seikat dan bulungan berasal dari kata buluk yang berarti daun. Dalam setiap helai daun di pepohonan memiliki doa-doa yang ingin disampaikan pada Ulau Manua (Tuhan) dan juga pesan dari para roh.
Dalam setiap rupa alam bahkan yang terkecil seperti daun sekalipun, bersemayam para roh yang harus dihormati agar manusia terhindar dari malapetaka. Itulah sebabnya masyarakat Mentawai tidak membuang limbah rumah tangga atau buang air besar di sungai.
Mereka memilih melakukannya di hutan atau di tempat yang jauh dari sungai karena mereka menghormati Taikaonian, roh penjaga sungai yang telah menyediakan air untuk kehidupan.
Di uma, saya bertemu Aman Lau Lau. Ia adalah sikerei, tokoh spiritual yang dihormati. “Anaileoita!” Ia menyapa saya. Salam itu kira-kira berarti, "halo!".
“Anaileoita!” saya membalas sapaan sang tokoh.
Aman Lau Lau membawa parang dan keranjang rotan yang berisi setandan pisang. Tampaknya, ia baru saja memetik pisang di ladang. Buah ranum itu menjadi sajian bagi tetamu yang datang dari ribuan kilometer ini.
Dalam berladang pun mereka memiliki kearifan untuk tidak merusak alam. Sebelum membuka lahan, mereka biasanya melakukan ritual dan tidak pernah membakar pohon di hutan. Menghormati taikaleleu yang merupakan roh penjaga hutan agar tidak meninggalkan wujud kasarnya hingga menimbulkan bencana atau penyakit.
Tidak hanya roh hutan, terdapat juga sanitu, makhluk gaib yang suka mengganggu manusia. Sanitu kerap tinggal di pohon-pohon berimbun besar seperti pohon eilagat dan sokut. Dua jenis pohon besar yang banyak terdapat di hutan Mentawai ini paling dihindari untuk ditebang. Karena membuat marah sanitu dapat menyebabkan rasa sakit yang hebat dan hanya bisa disembuhkan oleh roh leluhur.
siang itu adalah makan siang terakhir saya di Dusun Butui karena kami hanya menginap semalam. Bersama-sama duduk di lantai dengan warga dusun, kami bersantap beramai-ramai. Semua hidangan, terdiri dari nasi dan lauk disajikan di daun pisang yang disusun memanjang, persis seperti dijumpai dalam tradisi Minang.
Duduk di sebelah saya adalah Lepon, seorang murid kelas dua SLTP yang merupakan cucu dari Aman Lau Lau. Ia memberitahu kami, bahwa kakeknya akan menyiapkan acara khusus untuk rombongan yang datang dari jauh, yaitu proses pembuatan tato!
Inilah yang saya tunggu, sedari dulu saya selalu penasaran bagaimana Suku Mentawai menggunakan peralatan seadanya bisa membuat tato.
“Kamu mau tidak ditato?” tanya Lepon kepada saya.
“Tidak, lalu kenapa kamu tidak ditato?”
Lepon tertawa berderai.
“Saya tidak suka ditato, sakit rasanya.”
Saya kembali bertanya kepadanya, apakah suatu saat ia ingin menjadi sikerei seperti kakeknya. Lepon pun menggelengkan kepala. Lepon pun menjelaskan bahwa sang kakek pun tidak pernah memaksanya menjadi sikerei. Lepon bercita-cita melanjutkan sekolahnya bahkan hingga perguruan tinggi seperti salah satu pamannya.
Menjadi sikerei bisa terjadi karena dua hal. Pertama, keinginan sendiri, kedua karena panggilan roh nenek moyang melalui kejadian tertentu seperti sakit-sakitan yang tak kunjung sembuh. Untuk memastikannya diadakan upacara pengobatan.
Jika sakitnya sembuh maka penyakit itu merupakan petunjuk bahwa ia harus menjadi sikerei. Menjadi sikerei pun jelas harus berasal dari golongan yang kaya, karena upacara adat untuk pengangkatan sikerei harus menyembelih ternak dengan jumlah yang tidak sedikit.
Baca Juga: Musik Tuddukat Sebagai Media Komunikasi Tradisional Orang Mentawai
Baca Juga: Harus Menahan Sakit, Inilah Tradisi Kerik Gigi Bagi Wanita Mentawai
Baca Juga: Tato Polinesia sebagai Kanvas Komunikasi Budaya Antar Generasi
Baca Juga: Ragam Cerita Legenda dari Danau di Indonesia yang Turun-Temurun
Di hari terakhir saya sempat menyaksikan bagaimana Aman Lau Lau juga memiliki kemampuan medis yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmiah. Saat mengobati seorang anak yang demam tinggi dengan sehelai daun yang diambil dari hutan dan diisi ramuan yang sudah didoakan.
“Semua pohon, semak dan daun yang tumbuh di Mentawai punya khasiat medis,” kata Minarse Salolosit yang merupakan Sekretaris Desa Mailleppet sekaligus pemandu kami.
Minarse adalah putri dari seorang sikerei. Sewaktu muda ia pernah didiagnosa malaria jenis tropikana yang terkenal ganas dan sembuh berkat ramuan medis sang ayah. Ia menjelaskan bahwa banyak ahli dari berbagai negara yang melakukan penelitian di sini untuk kepentingan medis.
Minarse mengantar kepergian rombongan kami sampai bandara Padang untuk kembali ke Jakarta. “Jangan kapok ke Mentawai ya, kapan-kapan datang lagi!” ujarnya saat kami berpisah.
Ucapannya membuat saya teringat malam saat menginap di Uma Salakirat. Tidak bisa tidur akibat beralaskan lantai kayu yang tidak rata, salah satunya mengganjal punggung. Telepon pintar tak berguna karena tidak ada sinyal sama sekali di sana. Saya hanya menikmati malam itu dengan duduk di tangga uma sambil mengobrol bersama rekan-rekan media.
Suara berbagai binatang nokturnal begitu ramai seakan pesta pora di bawah langit cerah yang bertaburan bintang. Jika awalnya saya mengira tinggal tanpa listrik dan sinyal telekomunikasi begitu hambar, ternyata saya salah!
Seketika saya menyadari bahwa tempat saya menginap malam itu begitu meriah, indah dan penuh gairah, bersama dengan orang-orang yang begitu menghargai alam, dan alam pun mencintai mereka.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR