Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 cakupan imunisasi DPT (difteri, pertusis, dan tetanus) untuk anak berusia 2-6 tahun di Indonesia hanya 75,6% (idealnya di atas 90%). Artinya masih ada 24,6% anak yang belum diimunisasi yang berpotensi terinfeksi difteri dan menjadi penyebab penyebaran difteri di sekitarnya.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 juga menunjukkan beberapa provinsi dengan cakupan imunisasi DPT-HB (Hepatitis B) yang rendah adalah Papua (40,8%), Maluku (53,8%), dan Aceh (52,9%). Rendahnya cakupan imunisasi dasar lengkap ini berdampak kekhawatiran timbulnya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi(PD3I).
Adapun data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan yang diterbitkan pada 2016—memuat data rutin periode 2007-2015—menunjukkan cakupan imunisasi DPT pada 2013 adalah 99,3%, lebih tinggi dari data Riset Kesehatan Dasar 2013. Seharusnya dengan cakupan yang seperti itu dan potensi vaksin yang efektif, kasus difteri jarang atau tidak ditemukan.
Perbedaan data ini disebabkan oleh perbedaan metode pengambilan data di lapangan. Tapi kenyataanya tiap tahunnya kasus tersebut selalu ada dan menimbulkan permasalahan kesehatan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Karena itu, perlu kajian tentang bagaimana potensi efektivitas vaksin DPT yang diberikan kepada anak-anak untuk menghambat penyebaran bakteri.
Perlu juga dievaluasi bagaimana pola distribusi vaksin dari pusat ke daerah (suhu penyimpanan dan pengiriman). Sekali vaksin kehilangan potensinya, tidak akan dapat diperbaiki dan vaksin tidak akan memberikan perlindungan terhadap penyakit sesuai harapan. Vaksin sangat sensitif terhadap panas, beberapa vaksin juga sensitif terhadap dingin (suhu beku).
Perlu dipertimbangkan faktor pola mobilisasi penduduk dari daerah-daerah yang terkena wabah difteri seperti dari Jawa Timur ke daerah Banten dan Jakarta Raya dan sebaliknya. Data Pusdatin menyebutkan 63% kasus difteri (dari 502 kasus di Indonesia) pada 2015 berasal dari Jawa Timur.
Imunisasi DPT adalah langkah yang tepat untuk mencegah difteri meluas. Tapi orang yang diimunisasi tidak serta merta terbebas dari serangan bakteri difteri, masih ada kemungkinan ia terinfeksi bakteri C. diphtheriae. Dampaknya walau seseorang terlindungi dan tidak sakit terhadap difteri, dia berpotensi sebagai penyebar penyakit.
Faktor non-medis dan pandangan masyarakat
Di luar faktor medis, sejumlah hal di bawah ini juga menjadi penyebab tidak langsung meningkatnya penyebaran penyakit difteri di masyarakat.
Banyak orang tua emoh terhadap efek yang ditimbulkan oleh imunisasi DPT terhadap anak seperti suhu badan anak menjadi panas.
Lingkungan padat dan jumlah anggota penghuni rumah yang banyak ikut menyebabkan pola penularan difteri lebih cepat.
Berita vaksin palsu yang merebak pada Juni 2016—walau telah ditangani oleh Kementerian Kesehatan dengan cara vaksinasi ulang di daerah beredarnya vaksin palsu—masih mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat terhadap fungsi vaksin.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR