Catatan sejarah survei burung di Sumba dikelompokkan menjadi dua periode berdasarkan peristiwa kemerdekaan Indonesia. Yakni, sebelum dan sesudahnya.
Pada fase sebelum kemerdekaan, eksplorasi burung pertama kali dilakukan pada pertengahan abad ke-18. Penamaan burung Cacatua sulphurea citrinocristata oleh Fraser pada 1844 dan Larius roratus cornelia oleh Bonaparte pada 1853, menunjukkan bahwa setidaknya dua penulis jurnal tersebut telah melakukan studi burung Sumba satu abad sebelum kemerdekaan.
Selanjutnya, datang beberapa peneliti lain hingga 1944. Ernst Mayr adalah peneliti terakhir pada era pra-kemerdekaan. Ia mencatat ada 121 jenis burung di Sumba.
(Baca juga: 8 Aksi Sederhana untuk Membantu Pelestarian Satwa Liar)
Setelah kemerdekaan Indonesia, E.R Sutter melakukan ekspedisi ke Sumba pada 1949. Namun, hingga tiga dasawarsa kemudian, tidak diketahui ada ornithologist yang melakukan penelitian burung di Sumba.
Barulah pada 1979, Joh MacKinnon memulai kembali survei burung di Sumba, dengan hasil berupa daftar jenis yang sudah terdokumentasikan secara sistematik.
Burung-burung Sumba
Komposisi jenis burung di Sumba merupakan cerminan dari posisi geografis dan kondisi ekologis pulau Sumba itu sendiri. Posisi geografis yang lebih dekat dengan Pulau Flores dibandingkan dengan Pulau Timor, menyebabkan jenis burung di Sumba lebih banyak kemiripan jenis burung dengan Flores dibanding dengan Timor.
Kondisi ekologis Sumba yang lebih kering dan tanpa dataran tinggi (hanya 1200 mdpl) menyebabkan kekayaan jenis burung di Flores lebih tinggi dibandingkan Sumba.
Adapun jenis endemik Sumba terdiri dari: julang sumba (Rhyticeros everetti), cabai sumba (Dicaeum wilhelminae), burungmadu sumba (Cinnyris buettikoferi), gemak sumba (Turnix everetti), myzomela sumba (Myzomela dammermani), punai sumba (Treron teysmanii), sikatan sumba (Ficedula harterti), sikatan coklat sumba (Muscicapa segregeta), pungok sumba (Ninox sumbaensis), pungok wengi (Ninox rudolfi), dan walik rawamanu (Ptilinopus dohertyi).
(Baca juga: Lima Hal Ini Perlu Anda Perhatikan Ketika Pergi ke Taman Nasional Komodo)
Penelitian dari Takandjandji dan Sutrisno menuliskan hasil inventarisasi burung yang dilakukan oleh Jones pada 1990. Tercatat ada 158 jenis burung di Sumba (7 jenis di antaranya merupakan endemik Sumba).
Penelitian Jati pada 1998, berhasil mencatat 97 jenis burung termasuk salah satunya burungmadu sriganti (Nectarina jugularis) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides). Dan di 2007, Bashari dan Wungo (Tim Burung Indonesia) yang melakukan survei hampir di seluruh kawasan Manupeu Tanah Daru berhasil mencatat 119 jenis burung.
Berdasarkan kombinasi antara hasil riset sebelumnya dengan koleksi catatan perjumpaan dan dokumentasi foto yang terkumpul hingga 2017, diketahui ada 156 jenis burung yang pernah dijumpai di dalam kawasan Taman Nasional Matalawa.
Matalawa, ‘rumah’ bagi burung-burung di Sumba
Meskipun termasuk pulau yang kecil, tetapi Sumba memiliki dua kawasan taman nasional. Yakni, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Pada 2006, kedua taman ini digabungkan menjadi satu dengan nama Taman Nasional Matalawa.
Awalnya, kedua taman nasional memiliki spesies khasnya masing-masing, yakni kakatua sumba (Cacatua sulphurea) dan julang sumba (Rhyticeros everetti). Namun, kini Matalawa menjadi harmoni dan perpaduan keduanya.
(Baca juga: Observatorium Nasional Timau, Pengawas Langit dari Timor)
Luasnya yang kurang dari 10% Sumba, memiliki peran, fungsi, dan manfaat yang begitu banyak bagi kehidupan makhluk hidup yang tinggal di Sumba.
Beberapa publikasi menyebutkan bahwa tegakan hutan alam yang tersisa di Sumba sebagian besar terdapat di kawasan taman nasional. Begitu juga dengan ribuan mata air yang mengalir menjadi puluhan air terjun dan sungai-sungai besar, menjadikan Matalawa sebagai kawasan perlindungan hidrologi yang sangat penting.
Perpaduan antara variasi ekosistem dan tegakan hutan dengan daerah aliran sungai yang beragam merupakan rumah yang nyaman bagi lebih dari 150 jenis burung yang tinggal di dalamnya – baik sebagai penetap maupun sebagai pengunjung musiman (migran).
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR