Menurut penelitian terbaru, milenial ternyata generasi paling sabar dibanding yang lainnya.
Sebuah studi yang mempelajari harapan 2000 orang pada layanan pelanggan (customer service) menunjukkan bahwa milenial bersedia untuk menunggu paling lama. Mereka bahkan jarang mengeluh saat keadaan tidak berjalan sesuai rencana.
Milenial berusia 18 hingga 35 tahun bersedia menunggu hingga 11 menit saat menghubungi layanan pelanggan. Itu 38% lebih lama dibanding responden di atas 55 tahun yang hanya mampu menunggu selama delapan menit – lalu kecewa dan marah setelahnya.
Mudah memaafkan
Studi mengenai harapan terhadap layanan pelanggan yang dilakukan oleh Jive Communications ini, menunjukkan bahwa milenial mudah untuk memaafkan dan cepat melupakan kejadian buruk.
(Baca juga: Sabar, Bahasa, dan Kedekatan Emosional, Manfaat Pelesir Bersama Anak)
Empat dari sepuluh milenial (39%) bersedia memakai layanan yang sama, meskipun mereka telah dikecewakan sebelumnya. Sementara, pada mereka yang berusia di atas 55 tahun, hanya ada 23% saja.
Milenial juga cenderung mentolerir kesalahan. Hanya 2% orang lanjut usia yang bersedia memafkan pelayanan buruk di hotel -- jauh lebih sedikit dibanding 15% milenial.
Kita tahu rasanya sulit sekali untuk sabar dalam keadaan lapar dan perut kosong. Namun, para milenial bisa menunggu lebih lama untuk sebuah makanan, sebelum frustasi menghampiri. Mereka menunggu 21 menit lebih lama dibanding generasi lainnya.
Sepertiga dari milenial bahkan membiarkan begitu saja apabila pesanannya salah. Sementara, 12% partisipan di atas 55 tahun akan membuat gaduh apabila pihak restoran menyajikan makanan yang salah.
Komplain melalui telepon
Menurut penelitian ini, saat menelepon layanan pelanggan, sembilan menit adalah waktu yang pas untuk menunggu. Faktanya, sembilan menit juga waktu rata-rata bagi penduduk Amerika saat menunggu minumannya di restoran atau bar.
(Baca juga: Untuk Layanan, Pelanggan Pilih Telepon daripada Online)
Biasanya, 30% pelanggan akan menggunakan telepon untuk menyalurkan keluhannya setelah mendapat pelayanan yang buruk. Tiga puluh lima persen partisipan lebih senang menggunakan telepon dibanding media sosial atau e-mail saat komplain.
Sebagai tambahan, 76% warga Amerika pasti pernah melapor ke manajer perusahaan atau restoran terkait pelayanan buruk yang mereka dapat.
“Memberikan perhatian pada kepuasan pelanggan bisa menentukan apakah perusahaan akan sukses atau hancur. Setiap perusahaan harus mengukur kepuasan pelanggannya. Juga melakukan perbaikan dari saran para konsumen,” papar Sterling Snow, direktur komunikasi Jive Communications.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR