Sesuai perjanjian yang ditandatangani antara perwakilan pemerintah kedua negara, Indonesia harus menyelesaikan berbagai program dalam ketiga bidang itu selama lima tahun, yaitu antara tahun 2013-2018. Terkait dengan proyek mengurangi “stunting” ini, Zumrotin – selaku salah satu anggota dewan MCAI – mengatakan banyak pihak yang sebenarnya harus diikutsertakan.
“Stunting tidak bisa diselesaikan oleh Depkes saja, harus ada keterlibatan Depdikbud supaya anak-anak didorong untuk tidak segera menikah, dan juga Departemen Pekerjaan Umum karena erat kaitannya dengan sanitasi yang baik. Karena meskipun sekarang sudah 2018, di Ogan Komering Ilir (OKI) misalnya tidak semua orang punya sanitasi. Warga di OKI melakukan MCK (mandi-cuci-kakus.red) di kali dan sekaligus mencuci beras atau mengambil air minum. Bayangkan coba!,” papar Zumrotin.
Upaya Atasi Stunting Membutuhkan Peran Laki-Laki
Lebih jauh mengutip dari Voaindonesia.com, Zumrotin mengatakan perempuan dan anak perempuan tidak bisa menjadi satu-satunya faktor yang diintervensi untuk mengatasi “stunting”, tetapi juga laki-laki.
“Kami melihat bahwa untuk mengatasi stunting dibutuhkan peran laki-laki. Kami lihat di golongan masyarakat miskin, penghasilan dihabiskan untuk : pertama, beras – beras saja lho tidak untuk membeli kebutuhan protein dll; kedua, rokok; ketiga, pulsa. Pendidikan dan kesehatan ada di urutan keenam dan ketujuh. Coba bayangkan jika laki-laki tidak merokok, satu bungkus Rp20.000 itu bisa digunakan untuk membeli telur bagi anaknya. Jika seorang laki-laki perokok diberitahu tentang bahaya merokok bagi kesehatan, ia pasti berkilah
“saya sudah menghitung resikonya” tetapi bagaimana jika kampanye yang kita lakukan adalah “tanpa gizi baik anaknya akan stunting” mungkin sikapnya akan berbeda. Jadi Anda betul, ini harus menjadi gerakan laki2. Kedua, laki2 tidak boleh melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga.red) karena mengakibatkan ibu yang sedang menyusui anaknya akan terpengaruh, susu tidak keluar, padahal bayi sangat membutuhkan gizi yang banyak dalam kandungan ASI. Tapi karena ibunya kena KDRT, ASI-nya tidak maksimal. Jadi memang usaha mencegah stunting ini harus jadi gerakan,” jelas Zumrotin panjang.
Sejumlah penelitian menunjukkan “stunting” menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang, keterlambatan perkembangan bahasa dan kecerdasan motorik halus; yang secara keseluruhan akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan kapasitasnya kelak. Mengakhiri perkawinan anak, meskipun dinilai tidak memiliki kaitan langsung dengan “stunting”, tetap penting untuk membantu memutus siklus masalah kesehatan dan kemiskinan antar-generasi ini. Dan menjadi tugas bersama untuk mencapai sasaran mengurangi 40% jumlah balita pendek selambat-lambatnya pada tahun 2025.
Artikel ini pernah tayang di voaindonesia.com dengan judul Kawin Anak Picu Banyaknya Anak Indonesia Lahir dengan Tubuh Lebih Pendek?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR