Nationalgeographic.co.id—Ular, invertebrata, burung, dan banyak lagi telah mengembangkan beberapa alasan untuk berpura-pura mati.
Dari semua cara hewan untuk menghindari pemangsa, berpura-pura mati mungkin salah satu yang paling kreatif namun berisiko.
Secara ilmiah dikenal sebagai thanatosis atau imobilitas tonik, berpura-pura mati terjadi di seluruh kerajaan hewan. Mulai dari burung, mamalia, hingga ikan.
Pemalsu kematian yang paling terkenal adalah opossum dari Virginia Amerika Utara. Hewan ini membuka mulutnya, menjulurkan lidahnya, mengosongkan isi perutnya, dan mengeluarkan cairan berbau busuk. Ini dilakukan untuk meyakinkan pemangsa bahwa ia telah menjadi bangkai yang membusuk.
Tikus belanda atau guinea pig dan banyak spesies kelinci juga melakukan teknik ini. Beberapa hiu bahkan berpura-pura mati dengan perut ke atas. Jika terbalik dan ditahan sejenak, hiu lemon akan lemas, menunjukkan sesak napas dan sesekali gemetar.
Lusinan invertebrata termasuk yang paling umum mempraktikkan imobilitas tonik
Ketika didekati oleh pemangsa, belalang kerdil di Jepang akan berpura-pura mati dengan menjulurkan kakinya ke beberapa arah. Sehingga hampir mustahil bagi katak pemangsa untuk menelannya.
Banyak serangga berpura-pura mati setelah pemangsa menangkap mereka, sebuah fenomena yang disebut imobilitas pasca-kontak.
Misalnya, larva antlion Euroleon nostras, sejenis serangga bersayap pemangsa yang ganas. Serangga ini dapat berpura-pura mati selama 61 menit yang mencengangkan. Charles Darwin, di sisi lain, terkejut melihat seekor kumbang yang pura-pura mati selama 23 menit.
Mengapa ia dapat bertahan begitu lama? Pemangsa, misalnya burung pipit pagar, memperhatikan sekelompok lubang larva antlion dan menyelam untuk menangkap serangga. Burung pipit menjatuhkan larva dan serangga itu berpura-pura mati.
“Ini adalah kesempatan terakhir untuk hidup ketika bertemu dengan pemangsa,” kata Ana Sendova-Franks, dosen tamu di Universitas Bristol.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR