Partisipan satu memandang kebahagiannya dapat diraih melalui pendidikan yang tinggi, berpenghasilan, serta menjalani kehidupan dengan nilai-nilai religius. Sedangkan pada partisipan dua kebahagianya dapat diraih ketika berhasil mengurus keponakannya yang ia anggap sebagai titipan Tuhan.
Faktor religius memiliki pengaruh yang kuat bagi kedua partisipan. Dalam menjalani keterpurukan, keduanya menggunakan nilai-nilai keagamaan untuk kemudian bangkit dari masa-masa pahit, Hal ini pernah dikatakan Sligman (2005) dalam bukunya yang berjudul “Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan Dengan Psikologi Positif”, bahwa orang yang lebih religius (akan) lebih bahagia daripada orang yang tidak religius.
“Bagi wanita madya yang memutuskan untuk melajang tetap dapat menemukan kebahagianya melalui terjalinnya hubungan yang positif dengan orang lain, melibatkan diri secara penuh pada kegiatan-kegiatan yang disukai, menemukan makna dalam keseharian, memiliki sikap optimis dan mampu bangkit kembali setelah mengalami peristiwa-peristiwa yang menyedihkan (resiliensi). Berdoa juga dapat menjadi kunci dalam menjalani hidup yang penuh suka cita," ungkap Sindhy dan Christiana.
Baca Juga: Pertama Kalinya, Wilayah Otak yang Merespons Klitoris Dipetakan
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR